Sabtu, 29 Juni 2013

Hakikat, Sejarah, Ajaran, Tokoh dan Aliran Tasawuf

Pengertian Tasawuf
Istilah tasawuf, menurut H.M Amin Syukur (1999: 28-29) adalah istilah yang baru di dunia Islam. Istilah tersebut belum ada pada zaman Rasulullah saw, juga pada zaman para sahabat. Bahkan, tasawuf sendiri tidak ditemukan dalam dalam al-Qur’an. Gelar yang paling terhormat saat itu adalah Shahabat. Istilah lain yang kemudian muncul pada masa Hijrah ke Madinah juga hanya melahirkan istilah Muhajirin dan Anshar. Pada masa Khulafaur-rasyidin, tepatnya setelah kematian Imam Ali dan Husain, muncul istilah Tawwabin (mereka yang bertaubat kepada Allah), ada juga Buka’in (orang yang selalu mengucurkan air mata kepedihan), lalu Qashshash (pendongeng), Nussak (ahli ibadah), Rabbaniyyin (ahli ketuhanan), dan sebagainya.
Rujukan asal kata “tasawuf” sendiri terdapat beberapa pendapat. Haidar Bagir, sebagaimana dikutip oleh Mahmud Suyuti (2001: 9) menginventarisir istilah tasawuf dengan merujuk pada beberapa kata dasar. Di antaranya adalah: 1.  Kata shaff (baris, dalam shalat), karena dianggap kaum sufi berada dalam shaff pertama. 2.  Kata Shuf, yakni bahan wol atau bulu domba kasar yang biasa mencirikan pakaian kaum sufi. 3. Kata Ahlu as-Shuffah, yakni para zahid (pezuhud), dan abid (ahli ibadah) yang tak punya rumah dan tinggal di serambi masjid Nabi, seperti Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghifary, Imran ibn Husein, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdullah ibn Mas’ud, Abdullah ibn Abbas, dan Hudzifah bin Yaman. 4. Ada juga yang mengaitkannya dengan nama sebuah suku Badui yang memiliki gaya hidup sederhana, yakni Bani Shufah. 5. Meski jarang, sebagian yang lain mengaitkan asal-muasal istilah ini dengan sophon, atau sufa atau sufin, yang bermakna pelayanan kegerejaan (kerahiban). Jabir Ibnu Hayyan—seorang alkemis yang disebut-sebut sebagai murid Imam Ja’far Shadiq—dikatakan mengaitkan istilah ini dengan shufa’, yang bermakna penyucian sulfur merah.
Haidar menambahkan bahwa di dalam buku tasawwuf, menurut Abdul Qadir as-Suhrawardi, ada lebih dari seribu definisi istilah ini. Tapi, pada umumnya, berbagai definisi itu mencakup atau mengandung makna shafa’ (suci), wara’ (kehati-hatian ekstra untuk tidak melanggar batas-batas agama), dan ma’rifah (pengetahuan ketuhanan atau tentang hakikat segala sesuatu). Kepada apapun dirujukkan, semua sepakat bahwa kata ini terkait dengan akar shafa’ yang berarti suci. Pada gilirannya, ia akan bermuara pada ajaran al-Qur’an tentang penyucian hati.
Namun, menurut Amin Syukur (2000: 11) yang paling tepat pengertian tasawuf berasal dari kata suf (bulu domba), baik dilihat dari konteks kebahasaan, sikap sederhana para sufi maupun aspek kesejarahan.

Hakikat Tasawuf
Ibrahim Basyuni, sebagaimana disebutkan oleh Amin Syukur (2000: 12) mengklasifikasikan definsi tasawuf ke dalam tiga carian yang menunjukkan elemen-elemen. Pertama, Al-bidayah, kedua, Al-Mujahadah, ketiga, Al-Mazaqat.
Elemen pertama sebagai unsur dasar dan pemula, mengandung arti bahwa secara fitri manusia sadar dan mengakui bahwa semua yang ada ini tidak dapat menguasai dirinya sendiri karena di balik yang ada terdapat realitas mutlak. Elemen ini dapat disebut sebagai tahap kesadaran tasawuf. Contohnya adalah definisi yang dikemukakan oleh Ma’ruf al-Karkhi: “Tasawuf adalah mencari hakikat, dan memutuskan apa yang ada pada tangan makhluk.”
Elemen kedua sebagai unsur perjuangan keras, karena jarak antara manusia dan Realitas Mutlak yang emngatasi semua yang ada bukan jarak fisik dan penuh rintangan serta hambatan, maka diperlukan kesungguhan dan perjuangan keras untuk dapat menempuh jalan dan jarak tersebut dengan cara menciptakan kondisi tertentu untuk dapat mendekatkan diri kepada Realitas Mutlak.
Elemen ketiga mengandung arti manakala manusia telah lulus mengatasi hambatan dan rintangan untuk mendekati Realitas Mutlak, maka ia akan dapat berkomunikasi dan berada sedekat mungkin di hadirat-Nya serta akan merasakan kelezatan spiritual yang didambakan.
Dengan demikian, pada dasarnya, hakikat tasawuf adalah upaya para ahlinya untuk mengembangkan semacam disiplin (riyadhah)—spiritual, psikologis, keilmuan, dan jasmaniah—yang dipercayai mampu mendukung proses penyucian jiwa atau hati sebagaimana diperintahkan dalam kitab suci. (Haidah Bagir, 1999: 7)
Sejarah dan Perkembangan Tasawuf
Adapun menyangkut faktor lahirnya tasawuf, dijelaskan oleh HM. Amin Syukur dalam bukunya Intelektualisme Tasawuf (2002: 33) bahwa terdapat perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan bahwa tasawuf dipengaruhi oleh agama Masehi atau Nasrani. Meskipun tasawuf berkembang secara Islami, tetapi tidak tertutup kemungkinan ada sedikit pengaruh luar, terutama Nasrani.
Untuk menilai apakah satu ajaran tidak Islami dan dianggap sebagai terkena infiltrasi budaya asing tidak cukup hanya karena ada kesamaan istilah atau ditemukannya beberapa kemiripan dalam laku ritual dengan tradisi agama lain atau karena ajaran itu muncul belakangan, paska Nabi dan para shahabat. Perlu analisis yang lebih sabar, mendalam, dan objektif. Tidak bisa hanya dinilai dari kulitnya saja, tapi harus masuk ke substansi materi dan motif awalnya.
Tasawuf pada mulanya dimaksudkan sebagai tarbiyah akhlak-ruhani: mengamalkan akhlak mulia, dan meninggalkan setiap perilaku tercela. Atau sederhananya, ilmu untuk membersihkan jiwa dan menghaluskan budi pekerti. Demikian Imam Junaid, Syeikh Zakaria al-Anshari mendefiniskan.
Sementara itu, Abul A’la Afifi (dalam HM. Amin Syukur, 2002: 34) mengklasifikasikan pendapat sarjana tentang faktor tasawuf ini menjadi empat aliran. Pertama, dikatakan bahwa tasawuf berasal dari India melalui Persia. Kedua, berasal dari asketisme Nasrani. Ketiga, dari ajaran Islam sendiri. Keempat, berasal dari sumber yang berbeda-beda kemudian menjadi satu konsep.
Meskipun demikian, kita paham, bahwa inti ajaran Islam adalah usaha pencapaian keridlaan Tuhan dan kesalehan, sehingga kehidupan pemeluk Islam terfokus pada dua hal itu. Dalam sejarah tradisi Islam sendiri muncul dua model pencapaian keduanya, yaitu: model syari’ah dan hakikat. Jika yang pertama lebih menekankan prosedur ibadah, yang kedua lebih terfokus pada usaha batin walaupun pada umumnya yang dilakukan dengan tata cara tertentu yang dikenal dengan tarekat.
Walaupun praktek syari’at bisa dilakukan secara individual berbeda dari praktek sufi yang memerlukan pemandu yang dikenal sebagai mursyid, namun aturan dan syarat yang ketat dalam syari’ah menjadikan praktek sufi lebih mungkin dilakukan oleh semua kalangan, miskin atau kaya, ahli agama atau awam dan rakyat kebanyakan, jika didampingi seorang pemandu.
Namun demikian, sebenarnya tasawuf dan syari’at memiliki tujuan yang sama yaitu taqarrub kepada Khalik (Allah) tetapi dengan jalan yang berbeda. Oleh karena itu secara historis perkembangan tasawuf mengalami dinamika dalam perjalanannya.
Terkadang tasawuf mengalami kemajuan dengan banyaknya yang menjalankan beberapa tarikat tetapi kadang terjadi kemunduran karena dianggap merusak Islam sendiri seperti lahirnya konsep manunggaling kawulo gusti atau wahdat al-Wujud. Sufisme sendiri seringkali dituduh sebagai penyebab ketidakpedulian pemeluk Islam terhadap dinamika kehidupan duniawi.
Namun seperti madzhab syari’ah dalam sufisme juga bisa dikenali berbagai aliran yang terus berkembang dan berubah. Ajaran sufi mulai berkembang sebagai kritik atas kekuasaan Islam yang otoritarian dan represif yang didukung ulama syari’ah. (Fazlur Rahman, 1997: 194)
Tasawuf sendiri mengalami periodesasi perkembangan: 1) masa pembentukan, 2) masa pengembangan, 3) masa konsolidasi, 4) masa falsafi, 5) masa pemurnian. Masa pembentukan diawali dari masa abad I Hijriyah bagian kedua ketika Hasan Basri membawa ajaran kahuf dan raja’ serta tasawuf awal ini memiliki karakter tersendiri. Pada masa pengembangan yaitu pada abad III dan IV tasawuf mempunyai corak yang berbeda sama sekali dengan tasawuf sebelumnya. Abad ini, tasawuf bercorak kefana’an (ekstase) yang menjerumus ke persatuan hamba dengan Khalik.
Masa konsolidasi tasawuf
Pada abad V H tasawuf mengadakan konsolidasi. Masa ini ditandai dengan kompetisi dan pertarungan antara tasawuf semi falsafi dengan tasawuf sunni. Setelah tasawuf falsafi mendapat halaman dari tasawuf Sunni, maka pada abad VI H, tampillah tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat, kompromi dalam pemakaian term-term filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf. Dan yang terakhir adalah masa pemurnian karena tasawuf dianggap sudah menyeleweng dan terjadi pengkultusan terhadap wali-wali. (HM.Amin Syukur, 1999: 30-41)

Ajarah-Ajaran Tasawuf

Sebenarnya inti dari ajaran tasawuf adalah pencapaian kesempurnaan serta kesucian jiwa. kebersihan jiwa yang dimaksud adalah merupakan hasil perjuangan (mujahadah) yang tak henti-hentinya, sebagai cara perilaku perorangan yang terbaik dalam mengontrol dri pribadi, setia dan senantiasa merasa di ahadapan Allah swt. (HM. Amin Syukur, 2002: 165)
Untuk mencapai hal tersebut, tidak ada lain kecuali membutuhkan latihan-latihan mental yang diformulasikan dalam bentuk pengaturan sikap mental yang benar dan disiplin tingkah laku yang ketat. (HM. Amin Syukur, 2002: 166)
Itulah sebabnya mengapa al-Ghazali mengibaratkan hati atau jiwa manusia itu sebagai cermin. Cermin yang mengkilap dapat saja menjadi hitam pekat. Jika tertutup oleh noda hitam maksiat dan dosa yang diperbuat manusia. Namun apabila manusia tersebut mampu menghilangkan titik-titik noda yang senantiasa menjaga kebersihannya, maka cermin tadi akan gampang menerima apa-apa yang bersifat suci dri pancaran nur ilahi, dan bahkan lebih dari itu, hati/jiwa tadi akan memiliki kekuatan yang besar dan luar biasa. (HM. Amin Syukur, 2002: 166)
Adapun sistem pembinaan dan latihan tersebut adalah melalui jenjang, takhalliy, tahalliy, dan tajalliy.
Takhalliy berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan juga dari kotoran-kotoran dan penyakit hati yang merusak. Adapun sifat-sifat atau penyakit hati yang perlu diberantas adalah: hirshu (keinginan yang berlebih-lebihan terharap masalah keduniawiaan), hasud (iri dan dengki), takabbur (keseombongan), ghadhab (marah), riya’ dan sum’ah, ujub, dan syirik.
Tahap kedua adalah tahalliy, yaitu menghias diri dari jalan membiasakan diri dengan sifat dan sikap perbuatan yang baik, berusaha agar dalam setiap gerak dan perilaku selalu berjalan di atas ketentuan agama. Dari sekiab banak sifat-sifat terpuji, maka yang perlu mendapat perhatian antara lain: tauhid, taubah, zuhud, cinta (hubb), wara’, sabar, faqr, syukur, muraqabah dan muhasabah, ridha, tawakkal.
Setelah seseorang sanggup melalui dua tahap tersebut, maka ia akan sampai pada tahap ketiga, yakni tajalliy. Tajalliy berarti lenyap/hilangnya hijab dari sifat kemanusiaan (basyariyah) atau terangnya nur yang selama itu bersembunyi (ghaib); atau fana’ segala sesuatu (selain Allah) ketika nampak wajah Allah. Pencapaaian tajalliy tersebut melalui pendekatan rasa atau dzauq dengan alat qalb (hati nurani). Qalb menurut sufi mempunyai kemampuan lebih apabila dibandingkan dengan kemampuan akal. (HM. Amin Syukur, 2002: 166-186)
Pembagian Ilmu Tasawuf
Secara keseluruhan ilmu tasawuf dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni tasawuf ilmi atau tasawuf nadhari, yaitu tasawuf yang bersifat teoritis. Dan yang kedua, ialah tasawuf amali atau tasawuf tathbiqi, yakni ajaran tasawuf yang praktis, tidak hanya teori belaka, tetapi menuntut adanya pengamalan dalam rangka mencapai tujuan tasawuf. (HM. Amin Syukur, 2002: 43)
Dalam buku Pengantar Studi Islam, HM Amin Syukur (2000: 164) menerangkan masing-masing kelompok tasawuf tersebut. Tasawuf akhlaqiy adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang diformulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku yang ktat. Guna mencapai kebahagaiaan yang optimal, manusia harus lebih dahulu mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri-ciri kebutuhan melalui pensucian jiwa raga yang berlua dari pembentukan pribadi yang bermoral paripurna dan berakhlak mulia, yang dalam ilmu tasawuf biasa dikenal dengan takhalliy (pengosongan)
Sementara itu tasawuf amaliy adalah tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah. Dan pengertian ini, tasawuf amaliy berkonotasi thariqah, dimana dalam thariqah dibedakan antara kemampuan sufi yang satu daripada yang lain.
Sedangkan tasawuf falsafiy yaitu tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional penggagasnya. Terminologi filosofis yang digunakan berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yan telah mempengaruhi para tokohnya, namun orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang.
Sementara ada lagi yang membagi tasawuf, menjadi tiga bagian, yakni tasawuf akhlakiy, tasawuf amali dan tasawuf falsafi. Perlu dimaklumi pembagian ini hanya sebatas dalam kajian akademik, ketiganya tidak bisa dipisahkan secara dikotomik, tetapi dalam prakteknya ketiganya tidak bisa dipisahkan. (HM. Amin Syukur, 2002: 44)
Tokoh-tokoh Tasawuf dan Alirannya
Kita mengenal ada banyak tokoh tasawuf. Pada masa pembentukannya, yakni dalam abad I Hijriah muncul Hasan Basri (w. 110 H) dengan ajarah khauf-nya. Kemudian pada akhir abad I Hijriah, Hasan Basri diikuti oleh Rabi’ah al Adawiyah (w. 185) seorang sufi wanita yang terkenal dengan ajaran cintanya (hub al-ilah). (HM. Amin Syukur, 2002: 19)
Pada masa pengembangannya, yakni pada abad III dan IV Hijriyah tasawuf sudah mempunya corak yang berbeda sama sekali dengan abad sebelumnya. Pada masa ini tasawuf sudah bercorak kefanaan (ekstase) yang menjerumus ke persatuan hamba dengan khaliq. Tasawuf seperti ini dikembangkan oleh Abu Yazid al-Busthami (261 H) dan al-Hallaj, yang merupakan yang pertama kali menggunakan istilah fana’. Corak pemikiran tasawuf Abu Yazid ditentang keras oleh Ibn Taymiyah, sang pendekar ortodox, yang dengan lantang menyerang ajaran-ajaran sufi yang dianggap menyeleweng dari syariat Islam. (HM. Amin Syukur, 2002: 30-31)
Kemudian pada abad VI dan dilanjutkan abad VII hijriah, muncul cikal bakal orde-orde (tarekat) sufi kenamaan. Antara lain tarekat qadariyah yang dikaitkan dengan Abd. Qadir al- Jailani (471-561 H), tarekat Suhrawardiyah yang dicetuskan Syihabu al-Din Umar Ibn Abdillah al-Suhraardi (539-631 H), Tarekad Syadziliyah, yang dikaitkan dengan Abu Hasan Al-Syadzili (592-656 H), Tarekat Badaqiyah yang dikaitkan dengan Ahmad Al-Badawi (596-675), dan tarekat Naqsyabandiyah yang dikaitakan kepada Muhammad Ibn Bahau Al-Din al-Uwaisi al-Bukhary (717-791 H). (HM. Amin Syukur, 2002: 30)
Lalu, pada masa pemurnian muncullah nama-nama seperti Ibn Araby, Ibn Faridh, Jalaludin ar-Rumi dan sebagainya. Masa ini dianggap sebagai masa keemasan gerakan tasawuf secara teoritis mapun praktis (HM. Amin Syukur, 2002: 30)
Penutup
Praktek tasawuf sudah ada sejak zaman Rasulullah saw, meskipun istilah tentang tasawuf baru muncul pada akhir abad ke I Hijriah. Istilah tasawuf sendiri terdapat perbedaan tentang asal-usulnya, tetapi yang paling tepat berasal dari kata suf (bulu domba), baik dilihat dari konteks kebahasaan, sikap sederhana para sufi maupun aspek kesejarahan.
Tasawuf sendiri memiliki banyak aliran, di antaranya tasawuf yang berasal dari India melalui Persia. Kedua, berasal dari asketisme Nasrani. Ketiga, dari ajaran Islam sendiri. Keempat, berasal dari sumber yang berbeda-beda kemudian menjadi satu konsep.
Sebenarnya tasawuf dan syari’at memiliki tujuan yang sama yaitu taqarrub kepada Khalik (Allah) tetapi dengan jalan yang berbeda. Oleh karena itu secara historis perkembangan tasawuf mengalami dinamika dalam perjalanannya. Adapun periodesasi perkembangan tasawuf, dimulai dari masa pembentukan, masa pengembangan, masa konsolidasi, masa falsafi, dan terakhir masa pemurnian. Sementara, secara ilmu tasawuf dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni tasawuf ilmi atau nadhari, yaitu tasawuf yang bersifat teoritis. Ada pula yang membagi tasawuf, menjadi tiga bagian, yakni tasawuf akhlaki, tasawuf amali dan tasawuf falsafi.
Adapun tokoh-tokoh terkemuka di dunia tasawuf diantarnya adalah Hasan Basri (w. 110 H), Rabi’ah al Adawiyah (w. 185), Abu Yazid al-Busthami (261 H), Ibn Arabi, al-Ghazali, dan lain sebagainya. Tasawuf juga memunculkan sekte-sekte, yang kemudian dikenal dengan istilah tarekat. Di antara tokoh-tokoh tarekat yang terkenal antara lain Abd. Qadir al- Jailani (471-561 H), Syihabu al-Din Umar Ibn Abdillah al-Suhraardi (539-631 H), Abu Hasal Al-Syadzili (592-656 H), Ahmad Al-Badawi (596-675), dan Muhammad Ibn Bahau Al-Din al-Uwaisi al Bukhary (717-791 H).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar