Pengertian Tasawuf
Istilah tasawuf, menurut
H.M Amin Syukur (1999: 28-29) adalah istilah yang baru di dunia Islam.
Istilah tersebut belum ada pada zaman Rasulullah saw, juga pada zaman
para sahabat. Bahkan, tasawuf sendiri tidak ditemukan dalam dalam
al-Qur’an. Gelar yang paling terhormat saat itu adalah Shahabat. Istilah lain yang kemudian muncul pada masa Hijrah ke Madinah juga hanya melahirkan istilah Muhajirin dan Anshar. Pada masa Khulafaur-rasyidin, tepatnya setelah kematian Imam Ali dan Husain, muncul istilah Tawwabin (mereka yang bertaubat kepada Allah), ada juga Buka’in (orang yang selalu mengucurkan air mata kepedihan), lalu Qashshash (pendongeng), Nussak (ahli ibadah), Rabbaniyyin (ahli ketuhanan), dan sebagainya.
Rujukan
asal kata “tasawuf” sendiri terdapat beberapa pendapat. Haidar Bagir,
sebagaimana dikutip oleh Mahmud Suyuti (2001: 9) menginventarisir istilah tasawuf dengan merujuk pada beberapa kata dasar. Di antaranya adalah: 1. Kata shaff (baris, dalam shalat), karena dianggap kaum sufi berada dalam shaff pertama. 2. Kata Shuf, yakni bahan wol atau bulu domba kasar yang biasa mencirikan pakaian kaum sufi. 3. Kata Ahlu as-Shuffah, yakni para zahid (pezuhud), dan abid (ahli
ibadah) yang tak punya rumah dan tinggal di serambi masjid Nabi,
seperti Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghifary, Imran ibn Husein, Abu Ubaidah
bin Jarrah, Abdullah ibn Mas’ud, Abdullah ibn Abbas, dan Hudzifah bin
Yaman. 4. Ada juga yang mengaitkannya dengan nama sebuah suku Badui yang
memiliki gaya hidup sederhana, yakni Bani Shufah. 5. Meski jarang, sebagian yang lain mengaitkan asal-muasal istilah ini dengan sophon, atau sufa atau sufin,
yang bermakna pelayanan kegerejaan (kerahiban). Jabir Ibnu
Hayyan—seorang alkemis yang disebut-sebut sebagai murid Imam Ja’far
Shadiq—dikatakan mengaitkan istilah ini dengan shufa’, yang bermakna penyucian sulfur merah.
Haidar menambahkan bahwa di dalam buku tasawwuf,
menurut Abdul Qadir as-Suhrawardi, ada lebih dari seribu definisi
istilah ini. Tapi, pada umumnya, berbagai definisi itu mencakup atau
mengandung makna shafa’ (suci), wara’ (kehati-hatian ekstra untuk tidak melanggar batas-batas agama), dan ma’rifah (pengetahuan
ketuhanan atau tentang hakikat segala sesuatu). Kepada apapun
dirujukkan, semua sepakat bahwa kata ini terkait dengan akar shafa’ yang berarti suci. Pada gilirannya, ia akan bermuara pada ajaran al-Qur’an tentang penyucian hati.
Namun, menurut Amin Syukur (2000: 11) yang paling tepat pengertian tasawuf berasal dari kata suf (bulu domba), baik dilihat dari konteks kebahasaan, sikap sederhana para sufi maupun aspek kesejarahan.
Hakikat Tasawuf
Ibrahim
Basyuni, sebagaimana disebutkan oleh Amin Syukur (2000: 12)
mengklasifikasikan definsi tasawuf ke dalam tiga carian yang menunjukkan
elemen-elemen. Pertama, Al-bidayah, kedua, Al-Mujahadah, ketiga, Al-Mazaqat.
Elemen
pertama sebagai unsur dasar dan pemula, mengandung arti bahwa secara
fitri manusia sadar dan mengakui bahwa semua yang ada ini tidak dapat
menguasai dirinya sendiri karena di balik yang ada terdapat realitas
mutlak. Elemen ini dapat disebut sebagai tahap kesadaran tasawuf.
Contohnya adalah definisi yang dikemukakan oleh Ma’ruf al-Karkhi: “Tasawuf adalah mencari hakikat, dan memutuskan apa yang ada pada tangan makhluk.”
Elemen
kedua sebagai unsur perjuangan keras, karena jarak antara manusia dan
Realitas Mutlak yang emngatasi semua yang ada bukan jarak fisik dan
penuh rintangan serta hambatan, maka diperlukan kesungguhan dan
perjuangan keras untuk dapat menempuh jalan dan jarak tersebut dengan
cara menciptakan kondisi tertentu untuk dapat mendekatkan diri kepada
Realitas Mutlak.
Elemen ketiga mengandung arti manakala manusia
telah lulus mengatasi hambatan dan rintangan untuk mendekati Realitas
Mutlak, maka ia akan dapat berkomunikasi dan berada sedekat mungkin di
hadirat-Nya serta akan merasakan kelezatan spiritual yang didambakan.
Dengan demikian, pada dasarnya, hakikat tasawuf adalah upaya para ahlinya untuk mengembangkan semacam disiplin (riyadhah)—spiritual,
psikologis, keilmuan, dan jasmaniah—yang dipercayai mampu mendukung
proses penyucian jiwa atau hati sebagaimana diperintahkan dalam kitab
suci. (Haidah Bagir, 1999: 7)
Sejarah dan Perkembangan Tasawuf
Adapun menyangkut faktor lahirnya tasawuf, dijelaskan oleh HM. Amin Syukur dalam bukunya Intelektualisme Tasawuf
(2002: 33) bahwa terdapat perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan bahwa
tasawuf dipengaruhi oleh agama Masehi atau Nasrani. Meskipun tasawuf
berkembang secara Islami, tetapi tidak tertutup kemungkinan ada sedikit
pengaruh luar, terutama Nasrani.
Untuk menilai apakah satu
ajaran tidak Islami dan dianggap sebagai terkena infiltrasi budaya asing
tidak cukup hanya karena ada kesamaan istilah atau ditemukannya
beberapa kemiripan dalam laku ritual dengan tradisi agama lain atau
karena ajaran itu muncul belakangan, paska Nabi dan para shahabat. Perlu
analisis yang lebih sabar, mendalam, dan objektif. Tidak bisa hanya
dinilai dari kulitnya saja, tapi harus masuk ke substansi materi dan
motif awalnya.
Tasawuf pada mulanya dimaksudkan sebagai tarbiyah akhlak-ruhani:
mengamalkan akhlak mulia, dan meninggalkan setiap perilaku tercela.
Atau sederhananya, ilmu untuk membersihkan jiwa dan menghaluskan budi
pekerti. Demikian Imam Junaid, Syeikh Zakaria al-Anshari mendefiniskan.
Sementara itu, Abul A’la Afifi (dalam HM. Amin Syukur, 2002: 34)
mengklasifikasikan pendapat sarjana tentang faktor tasawuf ini menjadi
empat aliran. Pertama, dikatakan bahwa tasawuf berasal dari India
melalui Persia. Kedua, berasal dari asketisme Nasrani. Ketiga, dari
ajaran Islam sendiri. Keempat, berasal dari sumber yang berbeda-beda
kemudian menjadi satu konsep.
Meskipun demikian, kita paham,
bahwa inti ajaran Islam adalah usaha pencapaian keridlaan Tuhan dan
kesalehan, sehingga kehidupan pemeluk Islam terfokus pada dua hal itu.
Dalam sejarah tradisi Islam sendiri muncul dua model pencapaian
keduanya, yaitu: model syari’ah dan hakikat. Jika yang pertama lebih
menekankan prosedur ibadah, yang kedua lebih terfokus pada usaha batin
walaupun pada umumnya yang dilakukan dengan tata cara tertentu yang
dikenal dengan tarekat.
Walaupun praktek syari’at bisa dilakukan
secara individual berbeda dari praktek sufi yang memerlukan pemandu
yang dikenal sebagai mursyid, namun aturan dan syarat yang ketat dalam
syari’ah menjadikan praktek sufi lebih mungkin dilakukan oleh semua
kalangan, miskin atau kaya, ahli agama atau awam dan rakyat kebanyakan,
jika didampingi seorang pemandu.
Namun demikian, sebenarnya tasawuf dan syari’at memiliki tujuan yang sama yaitu taqarrub kepada
Khalik (Allah) tetapi dengan jalan yang berbeda. Oleh karena itu secara
historis perkembangan tasawuf mengalami dinamika dalam perjalanannya.
Terkadang
tasawuf mengalami kemajuan dengan banyaknya yang menjalankan beberapa
tarikat tetapi kadang terjadi kemunduran karena dianggap merusak Islam
sendiri seperti lahirnya konsep manunggaling kawulo gusti atau wahdat al-Wujud. Sufisme sendiri seringkali dituduh sebagai penyebab ketidakpedulian pemeluk Islam terhadap dinamika kehidupan duniawi.
Namun seperti madzhab syari’ah dalam sufisme
juga bisa dikenali berbagai aliran yang terus berkembang dan berubah.
Ajaran sufi mulai berkembang sebagai kritik atas kekuasaan Islam yang
otoritarian dan represif yang didukung ulama syari’ah. (Fazlur Rahman,
1997: 194)
Tasawuf sendiri mengalami periodesasi perkembangan:
1) masa pembentukan, 2) masa pengembangan, 3) masa konsolidasi, 4) masa
falsafi, 5) masa pemurnian. Masa pembentukan diawali dari masa abad I
Hijriyah bagian kedua ketika Hasan Basri membawa ajaran kahuf dan raja’ serta
tasawuf awal ini memiliki karakter tersendiri. Pada masa pengembangan
yaitu pada abad III dan IV tasawuf mempunyai corak yang berbeda sama
sekali dengan tasawuf sebelumnya. Abad ini, tasawuf bercorak kefana’an (ekstase) yang menjerumus ke persatuan hamba dengan Khalik.
Masa konsolidasi tasawuf
Pada abad V H tasawuf mengadakan konsolidasi. Masa ini ditandai dengan kompetisi dan pertarungan antara tasawuf semi falsafi dengan tasawuf sunni. Setelah tasawuf falsafi mendapat halaman dari tasawuf Sunni,
maka pada abad VI H, tampillah tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang
bercampur dengan ajaran filsafat, kompromi dalam pemakaian term-term
filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf. Dan yang terakhir
adalah masa pemurnian karena tasawuf dianggap sudah menyeleweng dan
terjadi pengkultusan terhadap wali-wali. (HM.Amin Syukur, 1999: 30-41)
Ajarah-Ajaran Tasawuf
Sebenarnya inti dari ajaran tasawuf
adalah pencapaian kesempurnaan serta kesucian jiwa. kebersihan jiwa
yang dimaksud adalah merupakan hasil perjuangan (mujahadah) yang tak
henti-hentinya, sebagai cara perilaku perorangan yang terbaik dalam
mengontrol dri pribadi, setia dan senantiasa merasa di ahadapan Allah
swt. (HM. Amin Syukur, 2002: 165)
Untuk mencapai hal tersebut,
tidak ada lain kecuali membutuhkan latihan-latihan mental yang
diformulasikan dalam bentuk pengaturan sikap mental yang benar dan
disiplin tingkah laku yang ketat. (HM. Amin Syukur, 2002: 166)
Itulah
sebabnya mengapa al-Ghazali mengibaratkan hati atau jiwa manusia itu
sebagai cermin. Cermin yang mengkilap dapat saja menjadi hitam pekat.
Jika tertutup oleh noda hitam maksiat dan dosa yang diperbuat manusia.
Namun apabila manusia tersebut mampu menghilangkan titik-titik noda yang
senantiasa menjaga kebersihannya, maka cermin tadi akan gampang
menerima apa-apa yang bersifat suci dri pancaran nur ilahi, dan bahkan lebih dari itu, hati/jiwa tadi akan memiliki kekuatan yang besar dan luar biasa. (HM. Amin Syukur, 2002: 166)
Adapun sistem pembinaan dan latihan tersebut adalah melalui jenjang, takhalliy, tahalliy, dan tajalliy.
Takhalliy
berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan juga dari
kotoran-kotoran dan penyakit hati yang merusak. Adapun sifat-sifat atau
penyakit hati yang perlu diberantas adalah: hirshu (keinginan yang berlebih-lebihan terharap masalah keduniawiaan), hasud (iri dan dengki), takabbur (keseombongan), ghadhab (marah), riya’ dan sum’ah, ujub, dan syirik.
Tahap kedua adalah tahalliy,
yaitu menghias diri dari jalan membiasakan diri dengan sifat dan sikap
perbuatan yang baik, berusaha agar dalam setiap gerak dan perilaku
selalu berjalan di atas ketentuan agama. Dari sekiab banak sifat-sifat
terpuji, maka yang perlu mendapat perhatian antara lain: tauhid, taubah,
zuhud, cinta (hubb), wara’, sabar, faqr, syukur, muraqabah dan muhasabah, ridha, tawakkal.
Setelah seseorang sanggup melalui dua tahap tersebut, maka ia akan sampai pada tahap ketiga, yakni tajalliy. Tajalliy berarti lenyap/hilangnya hijab dari sifat kemanusiaan (basyariyah) atau terangnya nur yang selama itu bersembunyi (ghaib); atau fana’ segala sesuatu (selain Allah) ketika nampak wajah Allah. Pencapaaian tajalliy tersebut melalui pendekatan rasa atau dzauq dengan alat qalb (hati nurani). Qalb menurut sufi mempunyai kemampuan lebih apabila dibandingkan dengan kemampuan akal. (HM. Amin Syukur, 2002: 166-186)
Pembagian Ilmu Tasawuf
Secara keseluruhan ilmu tasawuf dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni tasawuf ilmi atau tasawuf nadhari, yaitu tasawuf yang bersifat teoritis. Dan yang kedua, ialah tasawuf amali atau tasawuf tathbiqi, yakni
ajaran tasawuf yang praktis, tidak hanya teori belaka, tetapi menuntut
adanya pengamalan dalam rangka mencapai tujuan tasawuf. (HM. Amin Syukur, 2002: 43)
Dalam buku Pengantar Studi Islam, HM Amin Syukur (2000: 164) menerangkan masing-masing kelompok tasawuf tersebut. Tasawuf akhlaqiy
adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian
jiwa yang diformulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan
tingkah laku yang ktat. Guna mencapai kebahagaiaan yang optimal, manusia
harus lebih dahulu mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan
ciri-ciri kebutuhan melalui pensucian jiwa raga yang berlua dari
pembentukan pribadi yang bermoral paripurna dan berakhlak mulia, yang
dalam ilmu tasawuf biasa dikenal dengan takhalliy (pengosongan)
Sementara itu tasawuf amaliy adalah tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah. Dan pengertian ini, tasawuf amaliy berkonotasi thariqah, dimana dalam thariqah dibedakan antara kemampuan sufi yang satu daripada yang lain.
Sedangkan tasawuf falsafiy
yaitu tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan
visi rasional penggagasnya. Terminologi filosofis yang digunakan berasal
dari bermacam-macam ajaran filsafat yan telah mempengaruhi para
tokohnya, namun orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang.
Sementara ada lagi yang membagi tasawuf, menjadi tiga bagian, yakni tasawuf akhlakiy,
tasawuf amali dan tasawuf falsafi. Perlu dimaklumi pembagian ini hanya
sebatas dalam kajian akademik, ketiganya tidak bisa dipisahkan secara
dikotomik, tetapi dalam prakteknya ketiganya tidak bisa dipisahkan. (HM.
Amin Syukur, 2002: 44)
Tokoh-tokoh Tasawuf dan Alirannya
Kita mengenal ada banyak tokoh tasawuf. Pada masa pembentukannya, yakni dalam abad I Hijriah muncul Hasan Basri (w. 110 H) dengan ajarah khauf-nya.
Kemudian pada akhir abad I Hijriah, Hasan Basri diikuti oleh Rabi’ah al
Adawiyah (w. 185) seorang sufi wanita yang terkenal dengan ajaran
cintanya (hub al-ilah). (HM. Amin Syukur, 2002: 19)
Pada
masa pengembangannya, yakni pada abad III dan IV Hijriyah tasawuf sudah
mempunya corak yang berbeda sama sekali dengan abad sebelumnya. Pada
masa ini tasawuf sudah bercorak kefanaan (ekstase) yang menjerumus ke
persatuan hamba dengan khaliq. Tasawuf seperti ini dikembangkan oleh Abu
Yazid al-Busthami (261 H) dan al-Hallaj, yang merupakan yang pertama
kali menggunakan istilah fana’. Corak pemikiran tasawuf Abu Yazid
ditentang keras oleh Ibn Taymiyah, sang pendekar ortodox, yang dengan
lantang menyerang ajaran-ajaran sufi yang dianggap menyeleweng dari
syariat Islam. (HM. Amin Syukur, 2002: 30-31)
Kemudian pada abad
VI dan dilanjutkan abad VII hijriah, muncul cikal bakal orde-orde
(tarekat) sufi kenamaan. Antara lain tarekat qadariyah yang dikaitkan
dengan Abd. Qadir al- Jailani (471-561 H), tarekat Suhrawardiyah yang dicetuskan Syihabu al-Din Umar Ibn Abdillah al-Suhraardi (539-631 H), Tarekad Syadziliyah, yang dikaitkan dengan Abu Hasan Al-Syadzili (592-656 H), Tarekat Badaqiyah yang dikaitkan dengan Ahmad Al-Badawi (596-675), dan tarekat Naqsyabandiyah yang dikaitakan kepada Muhammad Ibn Bahau Al-Din al-Uwaisi al-Bukhary (717-791 H). (HM. Amin Syukur, 2002: 30)
Lalu,
pada masa pemurnian muncullah nama-nama seperti Ibn Araby, Ibn Faridh,
Jalaludin ar-Rumi dan sebagainya. Masa ini dianggap sebagai masa
keemasan gerakan tasawuf secara teoritis mapun praktis (HM. Amin Syukur,
2002: 30)
Penutup
Praktek tasawuf sudah ada
sejak zaman Rasulullah saw, meskipun istilah tentang tasawuf baru muncul
pada akhir abad ke I Hijriah. Istilah tasawuf sendiri terdapat
perbedaan tentang asal-usulnya, tetapi yang paling tepat berasal dari
kata suf (bulu domba), baik dilihat dari konteks kebahasaan, sikap
sederhana para sufi maupun aspek kesejarahan.
Tasawuf sendiri
memiliki banyak aliran, di antaranya tasawuf yang berasal dari India
melalui Persia. Kedua, berasal dari asketisme Nasrani. Ketiga, dari
ajaran Islam sendiri. Keempat, berasal dari sumber yang berbeda-beda
kemudian menjadi satu konsep.
Sebenarnya tasawuf dan syari’at memiliki tujuan yang sama yaitu taqarrub kepada
Khalik (Allah) tetapi dengan jalan yang berbeda. Oleh karena itu secara
historis perkembangan tasawuf mengalami dinamika dalam perjalanannya.
Adapun periodesasi perkembangan tasawuf, dimulai dari masa pembentukan,
masa pengembangan, masa konsolidasi, masa falsafi, dan terakhir masa
pemurnian. Sementara, secara ilmu tasawuf dapat dikelompokkan menjadi
dua, yakni tasawuf ilmi atau nadhari, yaitu tasawuf yang bersifat
teoritis. Ada pula yang membagi tasawuf, menjadi tiga bagian, yakni
tasawuf akhlaki, tasawuf amali dan tasawuf falsafi.
Adapun
tokoh-tokoh terkemuka di dunia tasawuf diantarnya adalah Hasan Basri (w.
110 H), Rabi’ah al Adawiyah (w. 185), Abu Yazid al-Busthami (261 H),
Ibn Arabi, al-Ghazali, dan lain sebagainya. Tasawuf juga memunculkan
sekte-sekte, yang kemudian dikenal dengan istilah tarekat. Di antara
tokoh-tokoh tarekat yang terkenal antara lain Abd. Qadir al- Jailani
(471-561 H), Syihabu al-Din Umar Ibn Abdillah al-Suhraardi (539-631 H),
Abu Hasal Al-Syadzili (592-656 H), Ahmad Al-Badawi (596-675), dan
Muhammad Ibn Bahau Al-Din al-Uwaisi al Bukhary (717-791 H).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar