Sabtu, 29 Juni 2013

Hakikat, Sejarah, Ajaran, Tokoh dan Aliran Tasawuf

Pengertian Tasawuf
Istilah tasawuf, menurut H.M Amin Syukur (1999: 28-29) adalah istilah yang baru di dunia Islam. Istilah tersebut belum ada pada zaman Rasulullah saw, juga pada zaman para sahabat. Bahkan, tasawuf sendiri tidak ditemukan dalam dalam al-Qur’an. Gelar yang paling terhormat saat itu adalah Shahabat. Istilah lain yang kemudian muncul pada masa Hijrah ke Madinah juga hanya melahirkan istilah Muhajirin dan Anshar. Pada masa Khulafaur-rasyidin, tepatnya setelah kematian Imam Ali dan Husain, muncul istilah Tawwabin (mereka yang bertaubat kepada Allah), ada juga Buka’in (orang yang selalu mengucurkan air mata kepedihan), lalu Qashshash (pendongeng), Nussak (ahli ibadah), Rabbaniyyin (ahli ketuhanan), dan sebagainya.
Rujukan asal kata “tasawuf” sendiri terdapat beberapa pendapat. Haidar Bagir, sebagaimana dikutip oleh Mahmud Suyuti (2001: 9) menginventarisir istilah tasawuf dengan merujuk pada beberapa kata dasar. Di antaranya adalah: 1.  Kata shaff (baris, dalam shalat), karena dianggap kaum sufi berada dalam shaff pertama. 2.  Kata Shuf, yakni bahan wol atau bulu domba kasar yang biasa mencirikan pakaian kaum sufi. 3. Kata Ahlu as-Shuffah, yakni para zahid (pezuhud), dan abid (ahli ibadah) yang tak punya rumah dan tinggal di serambi masjid Nabi, seperti Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghifary, Imran ibn Husein, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdullah ibn Mas’ud, Abdullah ibn Abbas, dan Hudzifah bin Yaman. 4. Ada juga yang mengaitkannya dengan nama sebuah suku Badui yang memiliki gaya hidup sederhana, yakni Bani Shufah. 5. Meski jarang, sebagian yang lain mengaitkan asal-muasal istilah ini dengan sophon, atau sufa atau sufin, yang bermakna pelayanan kegerejaan (kerahiban). Jabir Ibnu Hayyan—seorang alkemis yang disebut-sebut sebagai murid Imam Ja’far Shadiq—dikatakan mengaitkan istilah ini dengan shufa’, yang bermakna penyucian sulfur merah.
Haidar menambahkan bahwa di dalam buku tasawwuf, menurut Abdul Qadir as-Suhrawardi, ada lebih dari seribu definisi istilah ini. Tapi, pada umumnya, berbagai definisi itu mencakup atau mengandung makna shafa’ (suci), wara’ (kehati-hatian ekstra untuk tidak melanggar batas-batas agama), dan ma’rifah (pengetahuan ketuhanan atau tentang hakikat segala sesuatu). Kepada apapun dirujukkan, semua sepakat bahwa kata ini terkait dengan akar shafa’ yang berarti suci. Pada gilirannya, ia akan bermuara pada ajaran al-Qur’an tentang penyucian hati.
Namun, menurut Amin Syukur (2000: 11) yang paling tepat pengertian tasawuf berasal dari kata suf (bulu domba), baik dilihat dari konteks kebahasaan, sikap sederhana para sufi maupun aspek kesejarahan.

Hakikat Tasawuf
Ibrahim Basyuni, sebagaimana disebutkan oleh Amin Syukur (2000: 12) mengklasifikasikan definsi tasawuf ke dalam tiga carian yang menunjukkan elemen-elemen. Pertama, Al-bidayah, kedua, Al-Mujahadah, ketiga, Al-Mazaqat.
Elemen pertama sebagai unsur dasar dan pemula, mengandung arti bahwa secara fitri manusia sadar dan mengakui bahwa semua yang ada ini tidak dapat menguasai dirinya sendiri karena di balik yang ada terdapat realitas mutlak. Elemen ini dapat disebut sebagai tahap kesadaran tasawuf. Contohnya adalah definisi yang dikemukakan oleh Ma’ruf al-Karkhi: “Tasawuf adalah mencari hakikat, dan memutuskan apa yang ada pada tangan makhluk.”
Elemen kedua sebagai unsur perjuangan keras, karena jarak antara manusia dan Realitas Mutlak yang emngatasi semua yang ada bukan jarak fisik dan penuh rintangan serta hambatan, maka diperlukan kesungguhan dan perjuangan keras untuk dapat menempuh jalan dan jarak tersebut dengan cara menciptakan kondisi tertentu untuk dapat mendekatkan diri kepada Realitas Mutlak.
Elemen ketiga mengandung arti manakala manusia telah lulus mengatasi hambatan dan rintangan untuk mendekati Realitas Mutlak, maka ia akan dapat berkomunikasi dan berada sedekat mungkin di hadirat-Nya serta akan merasakan kelezatan spiritual yang didambakan.
Dengan demikian, pada dasarnya, hakikat tasawuf adalah upaya para ahlinya untuk mengembangkan semacam disiplin (riyadhah)—spiritual, psikologis, keilmuan, dan jasmaniah—yang dipercayai mampu mendukung proses penyucian jiwa atau hati sebagaimana diperintahkan dalam kitab suci. (Haidah Bagir, 1999: 7)
Sejarah dan Perkembangan Tasawuf
Adapun menyangkut faktor lahirnya tasawuf, dijelaskan oleh HM. Amin Syukur dalam bukunya Intelektualisme Tasawuf (2002: 33) bahwa terdapat perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan bahwa tasawuf dipengaruhi oleh agama Masehi atau Nasrani. Meskipun tasawuf berkembang secara Islami, tetapi tidak tertutup kemungkinan ada sedikit pengaruh luar, terutama Nasrani.
Untuk menilai apakah satu ajaran tidak Islami dan dianggap sebagai terkena infiltrasi budaya asing tidak cukup hanya karena ada kesamaan istilah atau ditemukannya beberapa kemiripan dalam laku ritual dengan tradisi agama lain atau karena ajaran itu muncul belakangan, paska Nabi dan para shahabat. Perlu analisis yang lebih sabar, mendalam, dan objektif. Tidak bisa hanya dinilai dari kulitnya saja, tapi harus masuk ke substansi materi dan motif awalnya.
Tasawuf pada mulanya dimaksudkan sebagai tarbiyah akhlak-ruhani: mengamalkan akhlak mulia, dan meninggalkan setiap perilaku tercela. Atau sederhananya, ilmu untuk membersihkan jiwa dan menghaluskan budi pekerti. Demikian Imam Junaid, Syeikh Zakaria al-Anshari mendefiniskan.
Sementara itu, Abul A’la Afifi (dalam HM. Amin Syukur, 2002: 34) mengklasifikasikan pendapat sarjana tentang faktor tasawuf ini menjadi empat aliran. Pertama, dikatakan bahwa tasawuf berasal dari India melalui Persia. Kedua, berasal dari asketisme Nasrani. Ketiga, dari ajaran Islam sendiri. Keempat, berasal dari sumber yang berbeda-beda kemudian menjadi satu konsep.
Meskipun demikian, kita paham, bahwa inti ajaran Islam adalah usaha pencapaian keridlaan Tuhan dan kesalehan, sehingga kehidupan pemeluk Islam terfokus pada dua hal itu. Dalam sejarah tradisi Islam sendiri muncul dua model pencapaian keduanya, yaitu: model syari’ah dan hakikat. Jika yang pertama lebih menekankan prosedur ibadah, yang kedua lebih terfokus pada usaha batin walaupun pada umumnya yang dilakukan dengan tata cara tertentu yang dikenal dengan tarekat.
Walaupun praktek syari’at bisa dilakukan secara individual berbeda dari praktek sufi yang memerlukan pemandu yang dikenal sebagai mursyid, namun aturan dan syarat yang ketat dalam syari’ah menjadikan praktek sufi lebih mungkin dilakukan oleh semua kalangan, miskin atau kaya, ahli agama atau awam dan rakyat kebanyakan, jika didampingi seorang pemandu.
Namun demikian, sebenarnya tasawuf dan syari’at memiliki tujuan yang sama yaitu taqarrub kepada Khalik (Allah) tetapi dengan jalan yang berbeda. Oleh karena itu secara historis perkembangan tasawuf mengalami dinamika dalam perjalanannya.
Terkadang tasawuf mengalami kemajuan dengan banyaknya yang menjalankan beberapa tarikat tetapi kadang terjadi kemunduran karena dianggap merusak Islam sendiri seperti lahirnya konsep manunggaling kawulo gusti atau wahdat al-Wujud. Sufisme sendiri seringkali dituduh sebagai penyebab ketidakpedulian pemeluk Islam terhadap dinamika kehidupan duniawi.
Namun seperti madzhab syari’ah dalam sufisme juga bisa dikenali berbagai aliran yang terus berkembang dan berubah. Ajaran sufi mulai berkembang sebagai kritik atas kekuasaan Islam yang otoritarian dan represif yang didukung ulama syari’ah. (Fazlur Rahman, 1997: 194)
Tasawuf sendiri mengalami periodesasi perkembangan: 1) masa pembentukan, 2) masa pengembangan, 3) masa konsolidasi, 4) masa falsafi, 5) masa pemurnian. Masa pembentukan diawali dari masa abad I Hijriyah bagian kedua ketika Hasan Basri membawa ajaran kahuf dan raja’ serta tasawuf awal ini memiliki karakter tersendiri. Pada masa pengembangan yaitu pada abad III dan IV tasawuf mempunyai corak yang berbeda sama sekali dengan tasawuf sebelumnya. Abad ini, tasawuf bercorak kefana’an (ekstase) yang menjerumus ke persatuan hamba dengan Khalik.
Masa konsolidasi tasawuf
Pada abad V H tasawuf mengadakan konsolidasi. Masa ini ditandai dengan kompetisi dan pertarungan antara tasawuf semi falsafi dengan tasawuf sunni. Setelah tasawuf falsafi mendapat halaman dari tasawuf Sunni, maka pada abad VI H, tampillah tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat, kompromi dalam pemakaian term-term filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf. Dan yang terakhir adalah masa pemurnian karena tasawuf dianggap sudah menyeleweng dan terjadi pengkultusan terhadap wali-wali. (HM.Amin Syukur, 1999: 30-41)

Ajarah-Ajaran Tasawuf

Sebenarnya inti dari ajaran tasawuf adalah pencapaian kesempurnaan serta kesucian jiwa. kebersihan jiwa yang dimaksud adalah merupakan hasil perjuangan (mujahadah) yang tak henti-hentinya, sebagai cara perilaku perorangan yang terbaik dalam mengontrol dri pribadi, setia dan senantiasa merasa di ahadapan Allah swt. (HM. Amin Syukur, 2002: 165)
Untuk mencapai hal tersebut, tidak ada lain kecuali membutuhkan latihan-latihan mental yang diformulasikan dalam bentuk pengaturan sikap mental yang benar dan disiplin tingkah laku yang ketat. (HM. Amin Syukur, 2002: 166)
Itulah sebabnya mengapa al-Ghazali mengibaratkan hati atau jiwa manusia itu sebagai cermin. Cermin yang mengkilap dapat saja menjadi hitam pekat. Jika tertutup oleh noda hitam maksiat dan dosa yang diperbuat manusia. Namun apabila manusia tersebut mampu menghilangkan titik-titik noda yang senantiasa menjaga kebersihannya, maka cermin tadi akan gampang menerima apa-apa yang bersifat suci dri pancaran nur ilahi, dan bahkan lebih dari itu, hati/jiwa tadi akan memiliki kekuatan yang besar dan luar biasa. (HM. Amin Syukur, 2002: 166)
Adapun sistem pembinaan dan latihan tersebut adalah melalui jenjang, takhalliy, tahalliy, dan tajalliy.
Takhalliy berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan juga dari kotoran-kotoran dan penyakit hati yang merusak. Adapun sifat-sifat atau penyakit hati yang perlu diberantas adalah: hirshu (keinginan yang berlebih-lebihan terharap masalah keduniawiaan), hasud (iri dan dengki), takabbur (keseombongan), ghadhab (marah), riya’ dan sum’ah, ujub, dan syirik.
Tahap kedua adalah tahalliy, yaitu menghias diri dari jalan membiasakan diri dengan sifat dan sikap perbuatan yang baik, berusaha agar dalam setiap gerak dan perilaku selalu berjalan di atas ketentuan agama. Dari sekiab banak sifat-sifat terpuji, maka yang perlu mendapat perhatian antara lain: tauhid, taubah, zuhud, cinta (hubb), wara’, sabar, faqr, syukur, muraqabah dan muhasabah, ridha, tawakkal.
Setelah seseorang sanggup melalui dua tahap tersebut, maka ia akan sampai pada tahap ketiga, yakni tajalliy. Tajalliy berarti lenyap/hilangnya hijab dari sifat kemanusiaan (basyariyah) atau terangnya nur yang selama itu bersembunyi (ghaib); atau fana’ segala sesuatu (selain Allah) ketika nampak wajah Allah. Pencapaaian tajalliy tersebut melalui pendekatan rasa atau dzauq dengan alat qalb (hati nurani). Qalb menurut sufi mempunyai kemampuan lebih apabila dibandingkan dengan kemampuan akal. (HM. Amin Syukur, 2002: 166-186)
Pembagian Ilmu Tasawuf
Secara keseluruhan ilmu tasawuf dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni tasawuf ilmi atau tasawuf nadhari, yaitu tasawuf yang bersifat teoritis. Dan yang kedua, ialah tasawuf amali atau tasawuf tathbiqi, yakni ajaran tasawuf yang praktis, tidak hanya teori belaka, tetapi menuntut adanya pengamalan dalam rangka mencapai tujuan tasawuf. (HM. Amin Syukur, 2002: 43)
Dalam buku Pengantar Studi Islam, HM Amin Syukur (2000: 164) menerangkan masing-masing kelompok tasawuf tersebut. Tasawuf akhlaqiy adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang diformulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku yang ktat. Guna mencapai kebahagaiaan yang optimal, manusia harus lebih dahulu mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri-ciri kebutuhan melalui pensucian jiwa raga yang berlua dari pembentukan pribadi yang bermoral paripurna dan berakhlak mulia, yang dalam ilmu tasawuf biasa dikenal dengan takhalliy (pengosongan)
Sementara itu tasawuf amaliy adalah tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah. Dan pengertian ini, tasawuf amaliy berkonotasi thariqah, dimana dalam thariqah dibedakan antara kemampuan sufi yang satu daripada yang lain.
Sedangkan tasawuf falsafiy yaitu tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional penggagasnya. Terminologi filosofis yang digunakan berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yan telah mempengaruhi para tokohnya, namun orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang.
Sementara ada lagi yang membagi tasawuf, menjadi tiga bagian, yakni tasawuf akhlakiy, tasawuf amali dan tasawuf falsafi. Perlu dimaklumi pembagian ini hanya sebatas dalam kajian akademik, ketiganya tidak bisa dipisahkan secara dikotomik, tetapi dalam prakteknya ketiganya tidak bisa dipisahkan. (HM. Amin Syukur, 2002: 44)
Tokoh-tokoh Tasawuf dan Alirannya
Kita mengenal ada banyak tokoh tasawuf. Pada masa pembentukannya, yakni dalam abad I Hijriah muncul Hasan Basri (w. 110 H) dengan ajarah khauf-nya. Kemudian pada akhir abad I Hijriah, Hasan Basri diikuti oleh Rabi’ah al Adawiyah (w. 185) seorang sufi wanita yang terkenal dengan ajaran cintanya (hub al-ilah). (HM. Amin Syukur, 2002: 19)
Pada masa pengembangannya, yakni pada abad III dan IV Hijriyah tasawuf sudah mempunya corak yang berbeda sama sekali dengan abad sebelumnya. Pada masa ini tasawuf sudah bercorak kefanaan (ekstase) yang menjerumus ke persatuan hamba dengan khaliq. Tasawuf seperti ini dikembangkan oleh Abu Yazid al-Busthami (261 H) dan al-Hallaj, yang merupakan yang pertama kali menggunakan istilah fana’. Corak pemikiran tasawuf Abu Yazid ditentang keras oleh Ibn Taymiyah, sang pendekar ortodox, yang dengan lantang menyerang ajaran-ajaran sufi yang dianggap menyeleweng dari syariat Islam. (HM. Amin Syukur, 2002: 30-31)
Kemudian pada abad VI dan dilanjutkan abad VII hijriah, muncul cikal bakal orde-orde (tarekat) sufi kenamaan. Antara lain tarekat qadariyah yang dikaitkan dengan Abd. Qadir al- Jailani (471-561 H), tarekat Suhrawardiyah yang dicetuskan Syihabu al-Din Umar Ibn Abdillah al-Suhraardi (539-631 H), Tarekad Syadziliyah, yang dikaitkan dengan Abu Hasan Al-Syadzili (592-656 H), Tarekat Badaqiyah yang dikaitkan dengan Ahmad Al-Badawi (596-675), dan tarekat Naqsyabandiyah yang dikaitakan kepada Muhammad Ibn Bahau Al-Din al-Uwaisi al-Bukhary (717-791 H). (HM. Amin Syukur, 2002: 30)
Lalu, pada masa pemurnian muncullah nama-nama seperti Ibn Araby, Ibn Faridh, Jalaludin ar-Rumi dan sebagainya. Masa ini dianggap sebagai masa keemasan gerakan tasawuf secara teoritis mapun praktis (HM. Amin Syukur, 2002: 30)
Penutup
Praktek tasawuf sudah ada sejak zaman Rasulullah saw, meskipun istilah tentang tasawuf baru muncul pada akhir abad ke I Hijriah. Istilah tasawuf sendiri terdapat perbedaan tentang asal-usulnya, tetapi yang paling tepat berasal dari kata suf (bulu domba), baik dilihat dari konteks kebahasaan, sikap sederhana para sufi maupun aspek kesejarahan.
Tasawuf sendiri memiliki banyak aliran, di antaranya tasawuf yang berasal dari India melalui Persia. Kedua, berasal dari asketisme Nasrani. Ketiga, dari ajaran Islam sendiri. Keempat, berasal dari sumber yang berbeda-beda kemudian menjadi satu konsep.
Sebenarnya tasawuf dan syari’at memiliki tujuan yang sama yaitu taqarrub kepada Khalik (Allah) tetapi dengan jalan yang berbeda. Oleh karena itu secara historis perkembangan tasawuf mengalami dinamika dalam perjalanannya. Adapun periodesasi perkembangan tasawuf, dimulai dari masa pembentukan, masa pengembangan, masa konsolidasi, masa falsafi, dan terakhir masa pemurnian. Sementara, secara ilmu tasawuf dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni tasawuf ilmi atau nadhari, yaitu tasawuf yang bersifat teoritis. Ada pula yang membagi tasawuf, menjadi tiga bagian, yakni tasawuf akhlaki, tasawuf amali dan tasawuf falsafi.
Adapun tokoh-tokoh terkemuka di dunia tasawuf diantarnya adalah Hasan Basri (w. 110 H), Rabi’ah al Adawiyah (w. 185), Abu Yazid al-Busthami (261 H), Ibn Arabi, al-Ghazali, dan lain sebagainya. Tasawuf juga memunculkan sekte-sekte, yang kemudian dikenal dengan istilah tarekat. Di antara tokoh-tokoh tarekat yang terkenal antara lain Abd. Qadir al- Jailani (471-561 H), Syihabu al-Din Umar Ibn Abdillah al-Suhraardi (539-631 H), Abu Hasal Al-Syadzili (592-656 H), Ahmad Al-Badawi (596-675), dan Muhammad Ibn Bahau Al-Din al-Uwaisi al Bukhary (717-791 H).

Writen By: Yusuf Amin Nugroho On 5/05/2013

Hakikat, Sejarah, Ajaran, Tokoh dan Aliran Tasawuf

Pengertian Tasawuf
Istilah tasawuf, menurut H.M Amin Syukur (1999: 28-29) adalah istilah yang baru di dunia Islam. Istilah tersebut belum ada pada zaman Rasulullah saw, juga pada zaman para sahabat. Bahkan, tasawuf sendiri tidak ditemukan dalam dalam al-Qur’an. Gelar yang paling terhormat saat itu adalah Shahabat. Istilah lain yang kemudian muncul pada masa Hijrah ke Madinah juga hanya melahirkan istilah Muhajirin dan Anshar. Pada masa Khulafaur-rasyidin, tepatnya setelah kematian Imam Ali dan Husain, muncul istilah Tawwabin (mereka yang bertaubat kepada Allah), ada juga Buka’in (orang yang selalu mengucurkan air mata kepedihan), lalu Qashshash (pendongeng), Nussak (ahli ibadah), Rabbaniyyin (ahli ketuhanan), dan sebagainya.
Rujukan asal kata “tasawuf” sendiri terdapat beberapa pendapat. Haidar Bagir, sebagaimana dikutip oleh Mahmud Suyuti (2001: 9) menginventarisir istilah tasawuf dengan merujuk pada beberapa kata dasar. Di antaranya adalah: 1.  Kata shaff (baris, dalam shalat), karena dianggap kaum sufi berada dalam shaff pertama. 2.  Kata Shuf, yakni bahan wol atau bulu domba kasar yang biasa mencirikan pakaian kaum sufi. 3. Kata Ahlu as-Shuffah, yakni para zahid (pezuhud), dan abid (ahli ibadah) yang tak punya rumah dan tinggal di serambi masjid Nabi, seperti Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghifary, Imran ibn Husein, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdullah ibn Mas’ud, Abdullah ibn Abbas, dan Hudzifah bin Yaman. 4. Ada juga yang mengaitkannya dengan nama sebuah suku Badui yang memiliki gaya hidup sederhana, yakni Bani Shufah. 5. Meski jarang, sebagian yang lain mengaitkan asal-muasal istilah ini dengan sophon, atau sufa atau sufin, yang bermakna pelayanan kegerejaan (kerahiban). Jabir Ibnu Hayyan—seorang alkemis yang disebut-sebut sebagai murid Imam Ja’far Shadiq—dikatakan mengaitkan istilah ini dengan shufa’, yang bermakna penyucian sulfur merah.
Haidar menambahkan bahwa di dalam buku tasawwuf, menurut Abdul Qadir as-Suhrawardi, ada lebih dari seribu definisi istilah ini. Tapi, pada umumnya, berbagai definisi itu mencakup atau mengandung makna shafa’ (suci), wara’ (kehati-hatian ekstra untuk tidak melanggar batas-batas agama), dan ma’rifah (pengetahuan ketuhanan atau tentang hakikat segala sesuatu). Kepada apapun dirujukkan, semua sepakat bahwa kata ini terkait dengan akar shafa’ yang berarti suci. Pada gilirannya, ia akan bermuara pada ajaran al-Qur’an tentang penyucian hati.
Namun, menurut Amin Syukur (2000: 11) yang paling tepat pengertian tasawuf berasal dari kata suf (bulu domba), baik dilihat dari konteks kebahasaan, sikap sederhana para sufi maupun aspek kesejarahan.

Hakikat Tasawuf
Ibrahim Basyuni, sebagaimana disebutkan oleh Amin Syukur (2000: 12) mengklasifikasikan definsi tasawuf ke dalam tiga carian yang menunjukkan elemen-elemen. Pertama, Al-bidayah, kedua, Al-Mujahadah, ketiga, Al-Mazaqat.
Elemen pertama sebagai unsur dasar dan pemula, mengandung arti bahwa secara fitri manusia sadar dan mengakui bahwa semua yang ada ini tidak dapat menguasai dirinya sendiri karena di balik yang ada terdapat realitas mutlak. Elemen ini dapat disebut sebagai tahap kesadaran tasawuf. Contohnya adalah definisi yang dikemukakan oleh Ma’ruf al-Karkhi: “Tasawuf adalah mencari hakikat, dan memutuskan apa yang ada pada tangan makhluk.”
Elemen kedua sebagai unsur perjuangan keras, karena jarak antara manusia dan Realitas Mutlak yang emngatasi semua yang ada bukan jarak fisik dan penuh rintangan serta hambatan, maka diperlukan kesungguhan dan perjuangan keras untuk dapat menempuh jalan dan jarak tersebut dengan cara menciptakan kondisi tertentu untuk dapat mendekatkan diri kepada Realitas Mutlak.
Elemen ketiga mengandung arti manakala manusia telah lulus mengatasi hambatan dan rintangan untuk mendekati Realitas Mutlak, maka ia akan dapat berkomunikasi dan berada sedekat mungkin di hadirat-Nya serta akan merasakan kelezatan spiritual yang didambakan.
Dengan demikian, pada dasarnya, hakikat tasawuf adalah upaya para ahlinya untuk mengembangkan semacam disiplin (riyadhah)—spiritual, psikologis, keilmuan, dan jasmaniah—yang dipercayai mampu mendukung proses penyucian jiwa atau hati sebagaimana diperintahkan dalam kitab suci. (Haidah Bagir, 1999: 7)
Sejarah dan Perkembangan Tasawuf
Adapun menyangkut faktor lahirnya tasawuf, dijelaskan oleh HM. Amin Syukur dalam bukunya Intelektualisme Tasawuf (2002: 33) bahwa terdapat perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan bahwa tasawuf dipengaruhi oleh agama Masehi atau Nasrani. Meskipun tasawuf berkembang secara Islami, tetapi tidak tertutup kemungkinan ada sedikit pengaruh luar, terutama Nasrani.
Untuk menilai apakah satu ajaran tidak Islami dan dianggap sebagai terkena infiltrasi budaya asing tidak cukup hanya karena ada kesamaan istilah atau ditemukannya beberapa kemiripan dalam laku ritual dengan tradisi agama lain atau karena ajaran itu muncul belakangan, paska Nabi dan para shahabat. Perlu analisis yang lebih sabar, mendalam, dan objektif. Tidak bisa hanya dinilai dari kulitnya saja, tapi harus masuk ke substansi materi dan motif awalnya.
Tasawuf pada mulanya dimaksudkan sebagai tarbiyah akhlak-ruhani: mengamalkan akhlak mulia, dan meninggalkan setiap perilaku tercela. Atau sederhananya, ilmu untuk membersihkan jiwa dan menghaluskan budi pekerti. Demikian Imam Junaid, Syeikh Zakaria al-Anshari mendefiniskan.
Sementara itu, Abul A’la Afifi (dalam HM. Amin Syukur, 2002: 34) mengklasifikasikan pendapat sarjana tentang faktor tasawuf ini menjadi empat aliran. Pertama, dikatakan bahwa tasawuf berasal dari India melalui Persia. Kedua, berasal dari asketisme Nasrani. Ketiga, dari ajaran Islam sendiri. Keempat, berasal dari sumber yang berbeda-beda kemudian menjadi satu konsep.
Meskipun demikian, kita paham, bahwa inti ajaran Islam adalah usaha pencapaian keridlaan Tuhan dan kesalehan, sehingga kehidupan pemeluk Islam terfokus pada dua hal itu. Dalam sejarah tradisi Islam sendiri muncul dua model pencapaian keduanya, yaitu: model syari’ah dan hakikat. Jika yang pertama lebih menekankan prosedur ibadah, yang kedua lebih terfokus pada usaha batin walaupun pada umumnya yang dilakukan dengan tata cara tertentu yang dikenal dengan tarekat.
Walaupun praktek syari’at bisa dilakukan secara individual berbeda dari praktek sufi yang memerlukan pemandu yang dikenal sebagai mursyid, namun aturan dan syarat yang ketat dalam syari’ah menjadikan praktek sufi lebih mungkin dilakukan oleh semua kalangan, miskin atau kaya, ahli agama atau awam dan rakyat kebanyakan, jika didampingi seorang pemandu.
Namun demikian, sebenarnya tasawuf dan syari’at memiliki tujuan yang sama yaitu taqarrub kepada Khalik (Allah) tetapi dengan jalan yang berbeda. Oleh karena itu secara historis perkembangan tasawuf mengalami dinamika dalam perjalanannya.
Terkadang tasawuf mengalami kemajuan dengan banyaknya yang menjalankan beberapa tarikat tetapi kadang terjadi kemunduran karena dianggap merusak Islam sendiri seperti lahirnya konsep manunggaling kawulo gusti atau wahdat al-Wujud. Sufisme sendiri seringkali dituduh sebagai penyebab ketidakpedulian pemeluk Islam terhadap dinamika kehidupan duniawi.
Namun seperti madzhab syari’ah dalam sufisme juga bisa dikenali berbagai aliran yang terus berkembang dan berubah. Ajaran sufi mulai berkembang sebagai kritik atas kekuasaan Islam yang otoritarian dan represif yang didukung ulama syari’ah. (Fazlur Rahman, 1997: 194)
Tasawuf sendiri mengalami periodesasi perkembangan: 1) masa pembentukan, 2) masa pengembangan, 3) masa konsolidasi, 4) masa falsafi, 5) masa pemurnian. Masa pembentukan diawali dari masa abad I Hijriyah bagian kedua ketika Hasan Basri membawa ajaran kahuf dan raja’ serta tasawuf awal ini memiliki karakter tersendiri. Pada masa pengembangan yaitu pada abad III dan IV tasawuf mempunyai corak yang berbeda sama sekali dengan tasawuf sebelumnya. Abad ini, tasawuf bercorak kefana’an (ekstase) yang menjerumus ke persatuan hamba dengan Khalik.
Masa konsolidasi tasawuf
Pada abad V H tasawuf mengadakan konsolidasi. Masa ini ditandai dengan kompetisi dan pertarungan antara tasawuf semi falsafi dengan tasawuf sunni. Setelah tasawuf falsafi mendapat halaman dari tasawuf Sunni, maka pada abad VI H, tampillah tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat, kompromi dalam pemakaian term-term filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf. Dan yang terakhir adalah masa pemurnian karena tasawuf dianggap sudah menyeleweng dan terjadi pengkultusan terhadap wali-wali. (HM.Amin Syukur, 1999: 30-41)

Ajarah-Ajaran Tasawuf

Sebenarnya inti dari ajaran tasawuf adalah pencapaian kesempurnaan serta kesucian jiwa. kebersihan jiwa yang dimaksud adalah merupakan hasil perjuangan (mujahadah) yang tak henti-hentinya, sebagai cara perilaku perorangan yang terbaik dalam mengontrol dri pribadi, setia dan senantiasa merasa di ahadapan Allah swt. (HM. Amin Syukur, 2002: 165)
Untuk mencapai hal tersebut, tidak ada lain kecuali membutuhkan latihan-latihan mental yang diformulasikan dalam bentuk pengaturan sikap mental yang benar dan disiplin tingkah laku yang ketat. (HM. Amin Syukur, 2002: 166)
Itulah sebabnya mengapa al-Ghazali mengibaratkan hati atau jiwa manusia itu sebagai cermin. Cermin yang mengkilap dapat saja menjadi hitam pekat. Jika tertutup oleh noda hitam maksiat dan dosa yang diperbuat manusia. Namun apabila manusia tersebut mampu menghilangkan titik-titik noda yang senantiasa menjaga kebersihannya, maka cermin tadi akan gampang menerima apa-apa yang bersifat suci dri pancaran nur ilahi, dan bahkan lebih dari itu, hati/jiwa tadi akan memiliki kekuatan yang besar dan luar biasa. (HM. Amin Syukur, 2002: 166)
Adapun sistem pembinaan dan latihan tersebut adalah melalui jenjang, takhalliy, tahalliy, dan tajalliy.
Takhalliy berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan juga dari kotoran-kotoran dan penyakit hati yang merusak. Adapun sifat-sifat atau penyakit hati yang perlu diberantas adalah: hirshu (keinginan yang berlebih-lebihan terharap masalah keduniawiaan), hasud (iri dan dengki), takabbur (keseombongan), ghadhab (marah), riya’ dan sum’ah, ujub, dan syirik.
Tahap kedua adalah tahalliy, yaitu menghias diri dari jalan membiasakan diri dengan sifat dan sikap perbuatan yang baik, berusaha agar dalam setiap gerak dan perilaku selalu berjalan di atas ketentuan agama. Dari sekiab banak sifat-sifat terpuji, maka yang perlu mendapat perhatian antara lain: tauhid, taubah, zuhud, cinta (hubb), wara’, sabar, faqr, syukur, muraqabah dan muhasabah, ridha, tawakkal.
Setelah seseorang sanggup melalui dua tahap tersebut, maka ia akan sampai pada tahap ketiga, yakni tajalliy. Tajalliy berarti lenyap/hilangnya hijab dari sifat kemanusiaan (basyariyah) atau terangnya nur yang selama itu bersembunyi (ghaib); atau fana’ segala sesuatu (selain Allah) ketika nampak wajah Allah. Pencapaaian tajalliy tersebut melalui pendekatan rasa atau dzauq dengan alat qalb (hati nurani). Qalb menurut sufi mempunyai kemampuan lebih apabila dibandingkan dengan kemampuan akal. (HM. Amin Syukur, 2002: 166-186)
Pembagian Ilmu Tasawuf
Secara keseluruhan ilmu tasawuf dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni tasawuf ilmi atau tasawuf nadhari, yaitu tasawuf yang bersifat teoritis. Dan yang kedua, ialah tasawuf amali atau tasawuf tathbiqi, yakni ajaran tasawuf yang praktis, tidak hanya teori belaka, tetapi menuntut adanya pengamalan dalam rangka mencapai tujuan tasawuf. (HM. Amin Syukur, 2002: 43)
Dalam buku Pengantar Studi Islam, HM Amin Syukur (2000: 164) menerangkan masing-masing kelompok tasawuf tersebut. Tasawuf akhlaqiy adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang diformulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku yang ktat. Guna mencapai kebahagaiaan yang optimal, manusia harus lebih dahulu mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri-ciri kebutuhan melalui pensucian jiwa raga yang berlua dari pembentukan pribadi yang bermoral paripurna dan berakhlak mulia, yang dalam ilmu tasawuf biasa dikenal dengan takhalliy (pengosongan)
Sementara itu tasawuf amaliy adalah tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah. Dan pengertian ini, tasawuf amaliy berkonotasi thariqah, dimana dalam thariqah dibedakan antara kemampuan sufi yang satu daripada yang lain.
Sedangkan tasawuf falsafiy yaitu tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional penggagasnya. Terminologi filosofis yang digunakan berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yan telah mempengaruhi para tokohnya, namun orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang.
Sementara ada lagi yang membagi tasawuf, menjadi tiga bagian, yakni tasawuf akhlakiy, tasawuf amali dan tasawuf falsafi. Perlu dimaklumi pembagian ini hanya sebatas dalam kajian akademik, ketiganya tidak bisa dipisahkan secara dikotomik, tetapi dalam prakteknya ketiganya tidak bisa dipisahkan. (HM. Amin Syukur, 2002: 44)
Tokoh-tokoh Tasawuf dan Alirannya
Kita mengenal ada banyak tokoh tasawuf. Pada masa pembentukannya, yakni dalam abad I Hijriah muncul Hasan Basri (w. 110 H) dengan ajarah khauf-nya. Kemudian pada akhir abad I Hijriah, Hasan Basri diikuti oleh Rabi’ah al Adawiyah (w. 185) seorang sufi wanita yang terkenal dengan ajaran cintanya (hub al-ilah). (HM. Amin Syukur, 2002: 19)
Pada masa pengembangannya, yakni pada abad III dan IV Hijriyah tasawuf sudah mempunya corak yang berbeda sama sekali dengan abad sebelumnya. Pada masa ini tasawuf sudah bercorak kefanaan (ekstase) yang menjerumus ke persatuan hamba dengan khaliq. Tasawuf seperti ini dikembangkan oleh Abu Yazid al-Busthami (261 H) dan al-Hallaj, yang merupakan yang pertama kali menggunakan istilah fana’. Corak pemikiran tasawuf Abu Yazid ditentang keras oleh Ibn Taymiyah, sang pendekar ortodox, yang dengan lantang menyerang ajaran-ajaran sufi yang dianggap menyeleweng dari syariat Islam. (HM. Amin Syukur, 2002: 30-31)
Kemudian pada abad VI dan dilanjutkan abad VII hijriah, muncul cikal bakal orde-orde (tarekat) sufi kenamaan. Antara lain tarekat qadariyah yang dikaitkan dengan Abd. Qadir al- Jailani (471-561 H), tarekat Suhrawardiyah yang dicetuskan Syihabu al-Din Umar Ibn Abdillah al-Suhraardi (539-631 H), Tarekad Syadziliyah, yang dikaitkan dengan Abu Hasan Al-Syadzili (592-656 H), Tarekat Badaqiyah yang dikaitkan dengan Ahmad Al-Badawi (596-675), dan tarekat Naqsyabandiyah yang dikaitakan kepada Muhammad Ibn Bahau Al-Din al-Uwaisi al-Bukhary (717-791 H). (HM. Amin Syukur, 2002: 30)
Lalu, pada masa pemurnian muncullah nama-nama seperti Ibn Araby, Ibn Faridh, Jalaludin ar-Rumi dan sebagainya. Masa ini dianggap sebagai masa keemasan gerakan tasawuf secara teoritis mapun praktis (HM. Amin Syukur, 2002: 30)
Penutup
Praktek tasawuf sudah ada sejak zaman Rasulullah saw, meskipun istilah tentang tasawuf baru muncul pada akhir abad ke I Hijriah. Istilah tasawuf sendiri terdapat perbedaan tentang asal-usulnya, tetapi yang paling tepat berasal dari kata suf (bulu domba), baik dilihat dari konteks kebahasaan, sikap sederhana para sufi maupun aspek kesejarahan.
Tasawuf sendiri memiliki banyak aliran, di antaranya tasawuf yang berasal dari India melalui Persia. Kedua, berasal dari asketisme Nasrani. Ketiga, dari ajaran Islam sendiri. Keempat, berasal dari sumber yang berbeda-beda kemudian menjadi satu konsep.
Sebenarnya tasawuf dan syari’at memiliki tujuan yang sama yaitu taqarrub kepada Khalik (Allah) tetapi dengan jalan yang berbeda. Oleh karena itu secara historis perkembangan tasawuf mengalami dinamika dalam perjalanannya. Adapun periodesasi perkembangan tasawuf, dimulai dari masa pembentukan, masa pengembangan, masa konsolidasi, masa falsafi, dan terakhir masa pemurnian. Sementara, secara ilmu tasawuf dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni tasawuf ilmi atau nadhari, yaitu tasawuf yang bersifat teoritis. Ada pula yang membagi tasawuf, menjadi tiga bagian, yakni tasawuf akhlaki, tasawuf amali dan tasawuf falsafi.
Adapun tokoh-tokoh terkemuka di dunia tasawuf diantarnya adalah Hasan Basri (w. 110 H), Rabi’ah al Adawiyah (w. 185), Abu Yazid al-Busthami (261 H), Ibn Arabi, al-Ghazali, dan lain sebagainya. Tasawuf juga memunculkan sekte-sekte, yang kemudian dikenal dengan istilah tarekat. Di antara tokoh-tokoh tarekat yang terkenal antara lain Abd. Qadir al- Jailani (471-561 H), Syihabu al-Din Umar Ibn Abdillah al-Suhraardi (539-631 H), Abu Hasal Al-Syadzili (592-656 H), Ahmad Al-Badawi (596-675), dan Muhammad Ibn Bahau Al-Din al-Uwaisi al Bukhary (717-791 H).

MENGENAL GARIS BESAR AJARAN

MENGENAL GARIS BESAR AJARAN
Syeh Siti Jenar

AJARAN METAFISIS FILOSOFIS (HAKEKAT)
     Dalam perspektif filosofis, semua hal yang ada di dunia ini memiliki aspek fisika (fisik) dan metafisika (metafisik). Demikian pula agama memiliki dua aspek tersebut. Syariat merupakan bentuk fisik dari agama, sedangkan bentuk metafisikanya ada dalam hakekat dari syariat agama. Seseorang hendaknya mengetahui fisik atau syariat yang merupakan tata caranya merncapai spiritual. Sedangkan metafisik atau hakekat sebagai bentuk pencapaian spiritualnya. Filsafat bukan mebicarakan fisik dari segala yang ada, melainkan membicarakan metafisika atau sesuatu yang ada dibalik keadaan fisik.
Ajaran Siti Syeh Jenar lebih memberikan tekanan pada filsafat ketuhanan dan filsafat kebenaran dengan kata lain bukan lagi berhenti pada tataran syariat, tetapi telah melangkah pada tataran yang lebih tinggi yakni hakekat.  Hal itu berbeda dengan ajaran yang disampaikan para wali, yang lebih mengedepankan syariat. Meskipun demikian ajaran Syeh Siti jenar yang mengutamakan filsafat ketuhanan dan kebenaran mengarah kepada ajaran Islam yang umumnya disebut sebagai ilmu tasawuf. Ajarannya mengutamakan pentingnya pengolahan kalbu (istilah Gusti MN IV; sembah kalbu/cipta) dengan implementasi pada ibadah-ibadah bersifat lahiriah.
Syeh Siti Jenar mengajarkan tentang falsafah kebenaran dan berusaha merumuskannya ke dalam bentuk kearifan dan kebijaksanaan. Sehingga menciptakan suatu hukum-hukum dalam bertindak (akhlak). Di situlah muncul kesan penyimpangan ajaran Syeh Siti Jenar jika dipandang dari perspektif penganut ajaran yang lebih mengutamakan syariat baku atau bagi yang memahami Qur’an dan Hadits secara tekstual. Terlepas dari munculnya kesan di atas, ajaran Syeh memang banyak menyangkut perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari. Pandangannya mengandung nilai metafisik mengenai baik-buruk, dan salah-benar.

PRO-KONTRA AJARAN SYEH SITI JENAR

Sejak itulah terjadi pro-kontra antara Syeh Siti Jenar atau Syeh Lemah Abang berikut para muridnya dengan para wali. Kubu para wali bersikukuh menilai ajaran Syeh Lemah Abang adalah sesat. Sementara masyarakat waktu itu menganggap ajaran tasawuf yang dikembangkan oleh Syeh Siti Jenar sebagai pencapaian spiritual yang tinggi. Apalagi ajarannya tetap berpegang pada pandangan Islam. Di hadapan para muridnya Syeh Lemah Bang merupakan seorang sufi, sebagaimana tokoh-tokoh sufi lainnya yang memandang bentuk kehidupan dunia ini sebagai kebusukan yang memuakkan. Sehingga seorang sufi menghindari kehidupan duniawi dan memilih kesederhanaan. Dunia dipandang sebagai kematian, sebab kehidupan yang sesungguhnya adalah sesudah seseorang menemui ajalnya. Jadi manusia yang hidup di dunia ibaratnya bangkai-bangkai yang bergentayangan. Pemikiran demikian sesuai dengan ajaran sufisme yang berkembang di ranah Arab.
Syeh Siti Jenar dan para muridnya sangat menyadari bahwa ajarannya seolah aneh, sesat dan menyimpang dari ajaran Islam. Penilaian ini muncul sejak dahulu hingga saat ini. Kenyataan ini wajar saja karena memang orang-orang sufi dan penganut ajaran tasawuf di dunia ini jumlahnya sangat sedikit jika dibandingkan dengan orang yang mengikuti syariat murni. Sedangkan menurut ahli tasawuf bahwa Islam tidak sebatas syariat, melainkan ada tingkatan-tingkatan peribadatan yang wajib ditempuh yakni tarekat, hakekat dan makrifat. Seseorang dapat disebut sebagai Islam sejati apabila telah  mengamalkan tingkatan peribadatan secara utuh.

KRITIK SYEH SITI JENAR;
Tugas Umat (para wali) yang Tidak Tuntas

     Menurut Syeh Jenar, orang Islam kebanyakan yang masih awam ibarat sebagai kulit kelapa. Ilmunya masih sebatas berada di kulitnya saja. Padahal untuk mencapai air kelapa, seseorang harus melewati kulit, lalu dagingnya dan barulah bisa mereguk air kelapanya (makrifat). Perumpamaan Siti Jenar ini kira-kira dapar dipersonifikasi lebih jelas sebagai berikut;
  1. Syariat diumpamakan kulit kelapa,
  2. Tarekat diumpamakan tempurungnya,
  3. Hekat diumpamakan sebagai hakekatnya,
  4. Makrifat diumpamakan sebagai air kelapanya.
Maka sangat jauh dari tujuan pencapaian spiritual apabila seseorang mandeg pada tingkatan syariat saja. Sebagaimana ajaran yang lebih utuh seperti dituturkan oleh KGPAA Mangkunegoro IV dalam ajaran Kejawen tentang tata cara mencapai spiritual yang dituangkan dalam pengetahuan spiritual Catur Sembah yakni; sembah raga (syariat), sembah cipta/kalbu (tarekat), sembah jiwa (hakekat), sembah rasa (makrifat). Beliau menuturkan apabila seseorang akan meraih pencapaian spiritual, hendaknya menempuh empat macam “laku” sembahyang atau catur sembah.
     Siti Jenar tidak setengah-setengah dalam mengajarkan ajaran Islam. Justru Siti Jenar menilai bahwa para wali mengajarkan Islam baru pada tahap “serabut kelapa” saja, atau kulit, syariatnya. Menurut Siti Jenar, hal itu akan membahayakan bagi umat Islam sendiri maupun umat yang lainnya dalam kancah perhelatan dunia di kelak kemudian hari. Perkataan Siti Jenar ini mungkin ada benarnya jika melihat kecenderungan umat Islam pada zaman sekarang ini.

Ajaran Kaum Sufi Tentang Keesaan Tuhan

Orang-orang Sufi mengakui bahwa Tuhan itu Satu, Sendiri, Tunggal, Kekal, Abadi, Berpengetahuan, Berkuasa, Hidup, Mendengar, Melihat, Kuat, Kuasa, Agung, Besar, Dermawan, Pengampun, Bangga, Dahsyat, Tak Berkesudahan, Pertama, Tuhan, Rabb, Penguasa, Pemilik, Pengasih, Penyayang, Berkehendak, Berfirman, Mencipta, Menjaga.
Bahwa Dia diberi sifat dengan segala gelar, yang dengan itu Dia telah memberi sifat pada diri-Nya sendiri; dan Dia diberi nama yang dengan itu pula Dia telah memberi nama pada diri-Nya sendiri; bahwa karena sifat-Nya yang kekal maka demikian pula nama-nama dan sifat-sifat-Nya sama sekali tak sama dengan makhluk-makhluk-Nya. Esensi-Nya tidak sama dengan esensi-esensi lain, tak pula sifat-Nya sama dengan sifat-sifat lain; tak satu pun dari istilah-istilah yang diterapkan pada makhluk-makhluk ciptaan-Nya dan yang mengacu pada penciptaan mereka dari waktu ke waktu, membawa pengaruh atas-Nya; bahwa Dia tak henti-hentinya menjadi Pemimpin, Terkemuka di hadapan segala yang dilahirkan dari waktu ke waktu, Ada sebelum segala yang ada; dan bahwa tiada sesuatu pun yang kekal kecuali Dia, dan tiada Tuhan di samping Dia; bahwa Dia bukan badan, potongan, bentuk, tubuh, unsur atau aksiden; bahwa dengan Dia tidak ada penyimpangan maupun pemisahan, tidak ada gerakan maupun kediaman, tidak ada tambahan maupun pengurangan; bahwa Dia bukan merupakan bagian, atau partikel, atau anggota, atau kaki-tangan, atau aspek, atau tempat: bahwa Dia tidak terpengaruh oleh kesalahan, atau kantuk, atau berubah-ubah dikarenakan waktu, atau disifatkan oleh kiasan bahwa Dia tidak terpengaruh oleh ruang dan waktu; bahwa dia tidak dapat dikatakan sebagai yang dapat disentuh, atau dikucilkan, atau mendiami tempat-tempat; bahwa Dia tidak dibatasi oleh pemikiran, atau ditutupi selubung, atau dilihat mata
Salah seorang tokoh besar Sufi mengatakan dalam wacananya: "Sebelum tidak mendahului-Nya, setelah tidak menyela-Nya, daripada tidak bersaing dengan Dia dalam hal keterdahuluan; dari tidak sesuai dengan Dia, ke tidak menyatu dengan Dia, di tidak mendiami Dia, kala tidak menghentikan Dia, jika tidak berunding dengan Dia, atas tidak membayangi Dia, di bawah tidak menyangga Dia, sebaliknya tidak menghadapinya, dengan tidak menekan Dia, di balik tidak mengikat Dia, di depan tidak membatasi Dia, terdahulu tidak memameri Dia, di belakang tidak membuat Dia luruh, semua tidak menyatukan Dia, ada tidak memunculkan Dia, tidak ada tidak membuat Dia lenyap. Penyembunyian tidak menyelubungi Dia, pra-eksistensi-Nya mendahului waktu, adanya Dia mendahului yang belum ada, kekekalan-Nya mendahului adanya batas. Jika engkau berkata kala, maka eksistensi-Nya telah melampaui waktu; jika engkau berkata sebelum, maka sebelum itu sesudah Dia, jika engkau berkata Dia, maka D, i dan a adalah ciptaan-Nya; jika engkau berkata bagaimana, maka esensi-Nya terselubung dari pemberian; jika engkau berkata di mana, maka adanya Dia mendahului ruang; jika engkau berkata tentang ke-Dia-an, maka ke-Diaan-Nya terpisah dari segala sesuatu. Selain Dia, tidak ada yang bisa diberi sifat dengan dua sifat (yang berlawanan) sekaligus, dan toh dengan-Nya kedua sifat itu tidak menciptakan keberlawanan. Dia tersembunyi dalam penjelmaan-Nya menjelma dalam persembunyian-Nya. Dia ada di luar dan di dalam, dekat dan jauh; dan dalam hal itu Dia tidak sama dengan makhluk-makhluk. Dia bertindak tanpa menyentuh, memerintah tanpa bertemu, memberi petunjuk tanpa menunjuk. Kehendak tidak bertentangan dengan-Nya, pikiran tidak menyatu dengan-Nya; esensi-Nya tanpa kualitas (takyif), tindakan-Nya tanpa upaya (taklif).
Mereka mengakui bahwa Dia tidak bisa dilihat oleh mata, atau dibantah oleh pikiran; bahwa sifat-sifat-Nya tidak berubah dan nama-nama-Nya tidak berganti; bahwa Dia tidak pernah lenyap dan tidak akan pernah lenyap; Dia yang Pertama dan Terakhir, Zahir dan Batin; bahwa Dia mengenal segala sesuatu, bahwa tidak ada yang seperti Dia dan bahwa Dia Melihat dan Mendengar.
di ambil dari http://pustaka.abatasa.co.id

Jumat, 28 Juni 2013

Love for Allah

Love for Allah If my love is attached to Thee Then from sin I will be free Each time my heart will beat Your name will resound with heat With your name shivers my each limb They seek to be released from whim Allah, Allah, is my hearts speech Your Mercy is what I beseech The Most Merciful keep me content With all that You have sent Keep in my heart Your remembrance And in Your deen and love allow me to advance Help me in my quest Permit me to pass the ultimate test Save me from the clutches of Satan Give me death upon Imaan.

Minggu, 23 Juni 2013

MENEMBUS DIMENSI MA’RIFAT KETUHANAN

Bismillahirrahmanirrahim Segala puja puji kepada Allah Swt yang telah mengangkat jiwa orang-orang yang suci dengan mujahadah[1], yang telah membahagiakan hati para wali dengan musyahadah[2], yang telah menghiasi lisan orang-orang mukmin dengan zikir, yang telah mengagungkan bisikan hati orang-orang Arif (berpengetahuan pada Allah) dengan berfikir, yang telah menjaga khalayak hamba dari kerusakan, yang telah menahan segala kesulitan dari para ahli zuhud, yang telah menghindarkan orang-orang yang bertaqwa dari bayang-bayang syahwat, yang telah mensucikan ruh orang-orang yakin dari gelapnya keraguan, yang telah menerima semua amal perbuatan para manusia terpilih melalui do’a-do’a dan yang telah menguatkan tali kaum merdeka dengan ikatan yang kokoh. Aku memuji-Nya dengan pujian mereka yang telah melihat tanda-tanda kekuasaan dan kekuatan-Nya, yang telah menyaksikan ke-Mahatunggalan dan wahdaniyah-Nya, yang telah mengetuk pintu-pintu rahasia-Nya dan kemuliaan-Nya, yang telah memetik buah dari sujud dan ketaatan-Nya. Aku mensyukuri-Nya dengan syukur mereka yang telah terbakar dan hanyut dalam aliran sungai kemuliaan dan pemuliaan-Nya. Aku mengimani-Nya dengan iman mereka yang telah mengakui kitab-kitab-Nya, perintah-Nya, para nabi-Nya, para wali-Nya, janji-janji-Nya, ancaman-Nya, pahala dan azab-Nya. Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Tunggal dan tak memiliki sekutu. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, yang diutus untuk menghancurkan mata rantai kefasikan dan kerusakan moral, diutus untuk memporakprandakan golongan pembangkang, diutus untuk memaksa orang-orang musyrik dan peragu, diutus untuk menolong para pengikut kebenaran dan kebaikan. Maka semoga keselamatan senantiasa Allah anugerahkan kepadanya dan para sahabatnya. TANDA-TANDA PENGETAHUAN TENTANG DIRI Ketahuilah ! bahwa pengetahuan tentang kimia kebahagiaan[3] yang bersifat dhohir tidak ada dalam perbendaharaan ilmu kaum awam kebanyakan, akan tetapi tersimpan dalam gudang ilmu para raja, demikian juga dengan kebahagiaan. Ia hanya ada dalam gudang rahmat Allah Swt. Di langit sana tersimpan esensi (jawhar) para malaikat, dan di bumi tersimpan di hati para wali yang Arifbillah. Dan setiap orang yang mencari ini tanpa bersandar hadrat kenabian[4], maka ia telah salah jalan dan semua daya upayanya tak lebih seperti uang dinar palsu. Ia kira dirinya kaya raya, tapi sebenarnya miskin di hari kiamat sebagaimana ditegaskan Allah Swt: “Maka Kami singkapkan daripadamu tutup yang menutupi matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.” (Q.S. Qaf [50]: 22). Dari sekian rahmat Allah pada hamba-Nya, Dia telah mengutus seratus dua puluh empat ribu nabi untuk mengajarkan seluruh manusia tentang naskah kimia ini, mengajarkan mereka bagaimana menjadikan hati sebagai tempaan mujahadah[5], mengajarkan bagaimana membersihkan hati dari budi pekerti yang buruk dan mengajarkan bagaimana mengendalikanya untuk menyusuri lorong-lorong kesucian, seperti dijelaskan Allah Swt: “Dialah yang mengutus pada kaum yang buta huruf seorang rasul diantara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kitab dan hikmah.” (Q.S. al-Jum’ah [62]: 2). Yaitu mensucikan mereka dari akhlak yang buruk dan sifat-sifat kebinatangan serta menjadikan sifat-sifat malaikat sebagai baju dan hiasan mereka. Adapun maksud dari Kimia ini adalah bahwa semua yang berhubungan dengan sifat-sifat negatif maka wajib menanggalkannya, dan semua yang berhubungan dengan sifat-sifat kesempurnaa maka wajib mengenakannya. Satu-satunya rahasia keberhasilan KIMIA KEBAHAGIAAN ini adalah kembali mundur dari keduniawian seperti ditegaskan oleh Allah Swt: “Dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan.” (Q.S. al-Muzammil [73]: 8). Dan keutamaan ini sangat banyak dan luas. PASAL MENGENAI PENGETAHUAN DIRI PRIBADI Ketahuilah ! bahwa kunci mengetahui Allah (ma’rifah Allah) adalah mengetahui diri sendiri. Seperti firman-Nya: “Kami akan memperlihatkan pada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami atas segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an adalah benar.” (Q.S. Fussilat [41]: 52). Demikian pula sabda Nabi Saw: “Siapa saja yang tahu akan dirinya, maka ia telah mengetahui Tuhannya.” Tidak ada sesuatupun paling dekat denganmu kecuali dirimu sendiri. Maka jika kamu tidak mengetahui dirimu, bagaimana mungkin kamu bisa mengetahui Tuhanmu? Jika kamu katakan bahwa aku telah mengetahui diriku, yang kamu tahu sebenarnya adalah diri bagian jasmani (anggota badan) yang terdiri dari tangan, kaki, kepala dan lainnya. Kamu tidak mengetahui apa yang tersimpan dalam batinmu, yang bila sedang marah, ia mendorongmu untuk bertengkar. Jika sedang bernafsu, ia mengajakmu kawin. Jika sedang lapar, ia memintamu makan, jika sedang haus, ia menuntutmu minum, dan hewan sangat mirip denganmu dalam hal ini. Maka itu, yang wajib Anda lakukan adalah mengenalkan hakikat pada dirimu hingga Anda tahu apa sebenarnya dirimu, dari mana kamu datang hingga sampai di tempat ini, untuk tujuan apa kamu diciptakan, dengan apa kamu bisa meraih kebahagiaan dan dengan apa kamu mendapatkan kepuasan. Dalam jiwamu terkumpul berbagai macam sifat, diantaranya sifat-sifat binatang jinak, binatang buas, pun demikian sifat-sifat malaikat. Maka ruh adalah hakikat jauharmu yang paling esensial, lainnya adalah unsur asing dan kosong telanjang. Maka yang wajib kamu lakukan adalah mengetahui hal ini. Bahwa bagi sifat-sifat itu ada ransom makananya dan kebahagianya. Kebahagiaan binatang jinak terletak pada makan, minum, tidur dan kawin, maka jika kamu merasa bagian dari mereka, kenyangkan perutmu dan puaskan kelaminmu. Kebahagiaan akan dirasakan binatang buas ketika mampu menyerang dan melumpuhkan mangsa, kebahagiaan setan terletak pada makar, kejahatan dan tipuan, maka jika kalian merasa bagian dari mereka, berbuatlah seperti yang mereka perbuat. Kebahagiaan para malaikat, ketika mereka hadir mengalami indahnya hadrat kesakralan Tuhan, bagi mereka tak ada jalan sedikitpun untuk amarah dan syahwat. Jika Anda merasa bagian dari jauhar hakikat malaikat, berjuanglah mengenal asalmu sampai Anda tahu jalan menuju Hadrat Ilahiah(hadirnya kesakralan Tuhan), sampai Anda bisa menyaksikan Jalal-Nya(keagungan) dan Jamal-Nya(keindahan), sampai Anda mampu menjernihkan dirimu dari belenggu amarah dan syahwat, sampai Anda tahu untuk apa sifat-sifat ini menjadi bagian darimu. Allah Swt tidak menciptakan semua sifat itu agar mereka menawanmu, tapi Ia menciptakannya agar mereka menjadi tawananmu, agar bisa mendorongmu berjalan, yaitu kedua kakimu dan agar salah satunya bisa Anda jadikan tunggangan sedangkan lainnya sebagai senjata hingga Anda mencapai kebahagiaan. Jika Anda telah sampai pada tujuanmu, maka tekanlah ia di bawah kedua kakimu dan kembalilah ke tempat kebahagiaanmu. Tempat itu adalah rumah bagi para khawas (orang-orang khusus) yang menyaksikan Hadirat Ilahi (al-Hadrah al-Ilahiyyah), sedang rumah-rumah para awam adalah tingkatan-tingkatan dalam syurga. Anda sangat memerlukan dan mengerti makna-makna ini untuk bisa mengetahui sedikit saja tentang dirimu. Dan barangsiapa yang tidak memahami pada makna-makna ini, maka ia hanya mendapat bagian kepingan-kepingannya saja, karena hakikat yang sebenarnya terhijab (tertutup) baginya. Ed:1 PASAL MENGENAI HATI, JIWA & RUH Jika Anda berkemauan mengetahui dirimu, maka ketahuilah ! bahwa Anda sebenarnya terdiri dari dua hal: Pertama, hati, dan Kedua yang disebut jiwa atau ruh. Jiwa atau ruh adalah hati yang biasa Anda sebut sebagai mata hati. Hakikatmu adalah yang batin, karena jasad yang tampak pertama sebenarnya merupakan yang terakhir, dan jiwa yang Anda sangka sebagai terakhir sebenarnya yang pertama, atau disebut hati. Hati bukanlah sepotong daging yang terletak di dada sebelah kiri, karena itu hanya berlaku bagi binatang dan jasad mati. Segala sesuatu yang Anda lihat dengan mata dhohir adalah alam ini atau yang disebut alam syhadah. Sedangkan hakikat hati bukanlah bagian alam ini, tapi alam ghaib, dan hati dialam ini adalah hal asing. Potongan daging itu hanyalah wadahnya, semua anggota tubuh jasmanii adalah bala tentaranya, sedang ia adalah rajanya. Ma’rifah Allah (mengetahui Allah) dan musyahadah (menyaksikan) keindahan hadir-Nya adalah sifat-sifat hati, beban baginya dan perintah untuknya. Dari situ ia mendapatkan pahala dan siksa, kebahagiaan dan kepuasan mengikutinya, demikian ruh hewani pun senantiasa mengintainya dan selalu membuntutinya. Mengetahui hakikat hati dan memahami sifat-sifat hati adalah kunci Ma'rifatullah (mengetahui Allah Swt). Maka Anda harus berjuang keras untuk mengetahuinya, karena ia adalah jauhar aziz (esensi mulia) bagian dari Jauhar Malaikat (esensi para malaikat) yang bahan dasarnya berasal dari Hadirat Ilahi, dari tempat itu ia datang dan ke tempat yang sama ia kembali. Ed2 PASAL MENGENAI HAKIKAT HATI &RUH Adapun pertanyaanmu apa hakikat hati, syari’ah tidak menjelaskannya secara panjang lebar kecuali dalam satu ayat: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah: “Ruh itu termasuk urusan Tuhanku.” (Q.S. al-Isra [17]: 85). Karena ruh merupakan bagian dari kekuasaan ilahiah, yaitu dari ‘alam al-amr (kuasa perintah Tuhan) Allah Swt berfirman: “Ingatlah, yang menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah.” (Q.S. al-A’raf [7]: 54). Dengan demikian, pada satu sisi manusia merupakan bagian dari ‘alam al-khalq (alam ciptaan) dan pada sisi lain bagian dari ‘alam al-amr. Segala sesuatu yang bisa dikenai ukuran panjang lebar, kadar dan mekanisme adalah termasuk ‘alam al-khalq[6], namun hati tak memiliki ukuran panjang lebar dan ukuran tertentu. Oleh karena itu, ia tak menerima pembagian. Jika bisa dibagi, maka ia termasuk ‘alam al-khalq. Contohnya, dari sisi sifat bodoh, maka ia pun menjadi bodoh dan dari sisi sifat pintar, ia pun menjadi pintar. Namun segala sesuatu yang terdiri dari sifat bodoh dan pintar pada saat yang sama adalah mustahil. Dengan kata lain, ia bagian dari ‘alam al-amr, karena dalam ‘alam al-amr tidak berlaku ukuran panjang lebar dan ukuran tertentu. Sebagian dari mereka mengira bahwa ruh bersifat qadim (awal), maka mereka telah salah. Sebagian lain berpendapat ruh adalah ‘ard (sifat), maka mereka pun salah, karena sifat tak pernah berdiri sendiri, tapi mengikuti yang lain. Maka, ruh adalah asal anak Adam, dan hati adalah tempat tumbuhnya mereka. Jadi, bagaimana mungkin dia adalah sifat! Sebagian golongan mengatakan ruh adalah badan jamani, mereka juga salah, karena badan jasmani menerima pembagian. Dan ruh yang sejak tadi kita sebut hati adalah media untuk mengetahui Allah. Oleh karena itu, ia bukan merupakan badan, juga bukan sifat, melainkan unsur esensi malaikat. Mengetahui tentang ruh sangatlah sulit[7], karena agama tak memberi jalan sedikit pun. Dan agama tak memerlukan untuk mengetahuinya, sebab agama esensinya adalah kesungguhan (mujahadah), sedang ma’rifah (mengetahui) adalah tanda hidayah, sebagaimana firman-Nya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (Q.S. al-Ankabut [29]: 69). Dan barangsiapa yang tidak bersungguh-sungguh, ia tidak boleh membahasnya atau mencari hakikat ruh. Dasar utama dari mujahadah adalah mengetahui tentara hati, karena manusia jika tidak mengetahui seluk beluk kemiliteran, ia tidak dibenarkan untuk berjihad. Ed3 PASAL MENGENAI JIWA SEBAGAI KENDARAAN HATI Ketahuilah ! bahwa jiwa adalah kendaraan hati, hati memiliki bala tentara, seperti dijelaskan Allah Swt: “Dan tak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu kecuali Dia sendiri.” (Q.S. al-Mudatstsir [74]: 31). Hati diciptakan untuk pekerjaan alam akhirat, agar mendapatkan kebahagiaannya. Kebahagiaan hati adalah dengan mengetahui Tuhannya. Mengetahui Tuhannya bisa didapatkan melalui ciptaan Allah swt dari berbagai ‘alam-Nya. Keajaiban alam tak mungkin terlihat kecuali melalui panca indera, dan panca indera berasal dari hati yang mengambil jiwa sebagai sarananya. Kemudian dilanjutkan dengan mengetahui tehnis kerjanya dan jaringannya. Jiwa tak berfungsi kecuali dengan makan, minum, suhu panas dan kelembapan tertentu. Ia lemah saat dihampiri bahaya dari dalam, yaitu lapar dan haus, demikian juga saat melawan bahaya luar, seperti air dan api. Ia menghadapi banyak musuh. Ed4 PASAL MENGENAI SYAHWAT & AMARAH Anda juga perlu mengetahui adanya dua macam bala tentara, yaitu bala tentara bagian luar(dhohir) yang terdiri dari syahwat dan amarah, berikut tempat-tempatnya pada kedua tangan,kedua kaki, kedua mata, kedua telinga dan semua anggota badan. Sedangkan tentara bagian dalam terletak dalam otak kepala, yaitu daya khayal, daya pikir, daya hafal, ingatan dan bingung. Setiap kekuatan ini memiliki fungsi khusus, jika salah satunya lemah, maka kondisi manusia pun akan lemah dalam dua alam (dunia-akhirat). Satu bagian yang mencakup dua hal ini adalah hati dan ia adalah pemimpinnya. Jika hati menyuruh lidah menyebutkan sesuatu, maka ia akan menyebutkannya. Jika memerintahkan tangan untuk menyerang, maka ia akan menyerang. Jika menyuruh kaki untuk melangkah, maka ia pun akan melangkah. Demikian pula panca indera, hingga bisa menjaga diri agar tetap bisa menyimpan pahala untuk di akhirat, berfungsi secara baik, menyeselesaikan kontrak kerja dan menghimpun butiran-butiran kebahagiaan. Dan mereka semua tunduk dan patuh kepada perintah hati sebagaimana para malaikat yang tunduk dan patuh pada perintah Tuhannya dan tidak berani menentang perintahnya. Ed5 PASAL MENGENAI MENGETAHUI HATI DAN BALA TENTARANYA Ketahuilah !, seperti dikatakan dalam pepatah terkenal; jiwa diibaratkan sebuah kota, kedua tangan, kaki dan seluruh anggota tubuh sebagai lahannya, kekuatan syahwat sebagai walikotanya, amarah sebagai kendaraanya, hati sebagai rajanya dan akal sebagai perdana menterinya. Raja bertugas mengatur segenap aparatur agar kondisi kerajaan tetap stabil, karena sang walikota atau syahwat adalah pembohong, acuh tak acuh dan ambisius. Demikian pula kendaraan yaitu amarah teramat jahat, pembunuh dan perusak. Jika sejenak saja sang raja meninggalkan mereka dalam keadaan aslinya, mereka akan menguasai kota dan merusaknya. Maka sang raja wajib berkonsultasi pada sang menteri dan menjadikan sang wali dan bagian transportasi dibawah pengawasan sang menteri. Jika ia melakukan hal itu, maka kondisi kerajaan akan tetap stabil, dan kota akan makmur. Demikian juga hati juga bermusyawarah pada akal untuk menjadikan syahwat dan amarah di bawah kekuasaannya sampai kondisi jiwa menjadi stabil dan bisa mengantarkan pada sebab-sebab kebahagiaan, yaitu mengetahui Hadirat Ilahi ( Ma'rifat alhadrat al-ilahiyah). Seandainya akal dalam kondisi di bawah kekuasaan amarah dan syahwat, maka jiwanya akan rusak dan hatinya tidak akan bahagia di akhirat kelak. Ed 6 PASAL MENGENAI AMARAH&SYAHWAT PEMBANTU JIWA Ketahuilah ! bahwa syahwat dan amarah pembantu jiwa. Keduanya senantiasa menarik-nariknya, terus mempertahankan urusan makan, minum dan kawin sebagai media indera. Kemudian jiwa mempekerjakan indera sebagai jaringan akal dan mata-matanya, yang dengannya ia mampu menyaksikan kehadiran Allah Swt. Kemudian indera juga mempekerjakan akal, yaitu hati sebagai lentera dan lampu yang melalui cahayanya ia bisa melihat Hadrat Ilahiah . Dengan demikian, kenikmatan perut dan kemaluannya menjadi terhinakan. Kemudian akal juga memfungsikan hati, sebab hati diciptakan untuk memandang keindahan Hadrat Ilahiah. Barang siapa yang berdaya upaya dalam fungsi ini, maka ia adalah hamba yang sebenarnya, yang terlahir dari al-hadrah al-ilahiyah, sebagaimana firman-Nya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Q.S. az-Zariyat [61]: 56). Artinya, bahwa Kami telah menciptakan hati, memberinya kerajaan dan memberinya pasukan tentara. Kami juga telah menjadikan jiwa sebagai kendaraannya hingga ia bisa berjalan dari alam ke-Tanah-an ke alam atas yaitu ‘Illiyin. Maka jika berkeinginan melaksanakan hak anugerah kenikmatan ini, duduklah dalam kerajaannya, jadikan Hadrat al-Ilahiah sebagai kiblat dan tujuannya, jadikan akhirat sebagai tanah air dan akhir keputusannya, jadikan jiwa sebagai kendaraannya, dunia sebagai rumahnya, kedua tangan dan kaki sebagai pembantunya, akal sebagai menterinya, syahwat sebagai karyawannya, amarah sebagai angkutannya dan indera sebagai mata-matanya. Masing-masing bagian itu adalah cerminan dari setiap alam yang menghimpun semua keadaan mengenai keadaan alam-alam lainnya. Daya khayal di bagian permukaan otak seperti seorang komandan yang bertugas menghimpun semua informasi para mata-mata. Daya hafal pada bagian tengah otak bagaikan pemilik peta yang bertugas menghimpun penggalan-penggalan dari tangan sang komandan yang kemudian disampaikan kepada akal. Jika informasi-informasi ini sampai pada sang menteri, maka ia akan melihat keadaan kota yang sebenarnya. Jika Anda melihat salah satu dari mereka melanggar, seperti syahwat dan amarah, maka Anda harus berusaha keras( bermujahadah) menaklukanya. Tidaklah mujahadah ini untuk membunuh syahwat dan amarah, sebab kerajaan tak akan bertahan tanpa keduanya. Jika Anda melakukannya, maka Anda adalah orang yang berbahagia, yang telah melaksanakan urusan yang hak untuk dilakukan yaitu anugerah nikmat, wajib bagimu menghadiahkan sesuatu pada saatnya, jika tidak, maka Anda tidak akan bahagia, dikenai siksa dan diwajibkan bertaubat. ed PASAL MENGENAI TIGA FORMASI KEBAHAGIAN Kebahagiaan sempurna dibangun di atas tiga hal, kekuatan amarah, kekuatan syahwat dan kekuatan ilmu[8]. Tiga hal ini harus diseimbangkan agar kekuatan syahwat tidak muncul menguasai yang justru akan merusak anda. Demikian juga kekuatan amarah agar tidak menguasai dan membodohi, yang akan merusak dan mengahncurkan anda. Jika kedua kekuatan tersebut seimbang dengan adanya kekuatan keadilan dan keseimbangan, maka keduanya akan menuju pada jalan hidayah. Jika amarah semakin menguat, maka akan mudah pada terjadinya penyerangan dan pembunuhan, sebaliknya jika amarah melemah, maka kewaspadaan, ketentraman dalam agama dan dunia akan hilang. Namun jika diseimbangkan, yang akan muncul adalah kesabaran, keberanian dan kebijaksanaan. Syahwat-pun demikian, jika semakin mendominasi, maka akan muncul adalah kejelekan dan kejahatan, sebaliknya jika syahwat melemah , maka akan menyebabkan kelemahan dan ketidakgairahan. Namun jika terkendali seimbang, yang ada adalah kesucian (‘iffah), kepuasan (qana’ah) dan sifat-sifat sejenis lainnya. ed PASAL MENGENAI HATI;PRILAKU JELEKNYA & BAGUSNYA Ketahuilah ! bahwa hati dan bala tentaranya memiliki keadaan dan sifat-sifat yang sebagian disebut dengan budi pekerti buruk dan sebagian lain disebut budi pekerti terpuji. Budi pekerti terpuji akan mengantarkan pada kebahagiaan, dan akhlak buruk mengantarkan pada kehancuran dan siksa. Semua ini terdiri dari empat jenis budi pekerti( akhlak). Yaitu: akhlak setan, akhlak binatang jinak, akhlak binatang buas dan akhlak malaikat. Perilaku jelek, yaitu makan, minum, tidur dan kawin adalah akhlak binatang jinak. Tingkah laku amarah pemukulan, pembunuhan dan pertikaian adalah akhlak binatang buas. Prilaku-prilaku jiwa seperti makar, penipuan, kecurangan dan hal lain sejenis adalah akhlak setan. Terakhir, kegiatan berfikir yang menghasilkan rahmat, ilmu dan kebaikan adalah akhlak malaikat. ed PASAL MENGENAI EMPAT HAKIKAT DALAM KULIT MANUSIA Ketahuilah ! bahwa dalam kulit anak adam(manusia) terdapat empat hal, anjing, babi, setan dan malaikat. Anjing tercela dari segi sifatnya dan bukan dari bentuknya. Begitupun setan dan malaikat, hal-hal tercela dan keterpujianya[9] hanya pada sifat-sifatnya dan bukan pada bentuk atau prilakunya. Babi pun demikian, tercela dalam sifat-sifatnya bukan pada bentuk dan tingkah lakunya. Karenanya manusia diperintahkan untuk menyingkap gelapnya kebodohan dengan cahaya akal, agar terhindar dari segala macam fitnah. Seperti ditegaskan Rasul Saw: “Tak seorangpun (dari manusia) kecuali memiliki setan, aku juga memiliki setan. Sungguh Allah telah menjagaku dari setanku hingga aku bisa menguasainya.”[10] Demikian syahwat dan amarah seharusnya berada dibawah kendali akal, keduanya hanya boleh berbuat bergerak melakukan sesuatu dengan kendali akal. Maka jika seseorang berbuat demikian, ia benarlah baginya disebut berakhlak terpuji yaitu; sifat malaikat dan merupakan benih kebahagiaan. Jika melakukan kebalikannya, maka ia disebut berakhlak tercela yaitu sifat-sifat setan dan merupakan benih dari siksa.Dalam tidur ia akan melihat dirinya seakan berdiri terpasung menjadi budak anjing dan babi. Orang ini seperti lelaki muslim yang membawa beberapa muslim lainnya dan menahan mereka di penjara orang-orang kafir. Bagaimana keadanmu jika nanti pada hari kiamat sang raja, yaitu akal, menahanmu dibawah kekuasaan syahwat dan amarah, yaitu anjing dan babi? ed PASAL MENGENAI EMPAT KONDISI MANUSIA PADA HARI KIAMAT Ketahuilah ! bahwa manusia saat ini dalam bentuk anak Adam, esok saat makna-makna itu tersingkap, mereka pun keluar dalam bentuk menyesuaikan dengan makna masing-masing. Mereka yang dominan amarahnya, maka akan berdiri dalam bentuk anjing. Mereka yang dominan nafsunya, maka akan berdiri dalam bentuk babi, sebab bagaimanapun bentuk selalu mengikuti makna-makna. Seorang yang tertidur akan melihat semua yang ada dalam jiwanya. Demikian pula karena isi jiwa manusia teridentifikasi dalam empat hal di atas, maka ia harus mengintai setiap gerak-geriknya, diamnya dan mengenali diri termasuk bagian mana dari yang empat. Sifat-sifat itu ada dalam hati dan terus bertahan hingga hari kiamat, dan jika masih tersisa secuil kebaikan, maka itu adalah benih kebahagiaan. Sebaliknya jika yang tersisa adalah secuil kejelekan, maka ia pun merupakan benih dari siksa. Manusia tak akan pernah berhenti bergerak dan diam, hatinya bagaikan kaca, akhlak tercela bagaikan asap dan kegelapan, jika menyentuhnya, maka seketika ia menggelapkan jalan menuju kebahagiaan. Akhlak terpuji bagaikan cahaya dan pancarannya, jika sampai pada hati, maka ia akan membersihkannya dari gelapnya kemaksiatan. Seperti sabda Rasul Saw: “Ikutkanlah pada perbuatan jelek itu perbuatan baik yang akan menghapusnya.”[11] Dan hati bisa jadi terang dan gelap, semua tak akan lolos kecuali mereka yang mendatangi Allah dengan hati yang pasrah. PASAL MENGENAI KELEBIHAN MANUSIA ATAS BINATANG Ketahuilah ! bahwa nafsu dan amarah yang ada bersama binatang juga terdapat pada anak Adam. Akan tetapi manusia diberi tambahan lain[12] sebagai bekal untuk memperoleh kemuliaan dan kesempurnaan. Dengan hal tersebut, ia bisa mengetahui Allah dan keindahan ciptaan-Nya. Dan dengan hal tersebut manusia bisa menyelamatkan dirinya dari kekuasaan nafsu dan amarah serta meraih sifat-sifat malaikat. Dengan demikian, manusia diberi sifat-sifat binatang jinak dan buas, yang semuanya ditundukka Allah untuk manusia. Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah: “Dia telah menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan yang ada di bumi semuanya.” (Q.S. al-Jasiyah [45]: 13). PASAL MENGENAI KEAJAIBAN HATI& DUA PINTU HATI Ketahuilah ! bahwa hati memiliki dua pintu ilmu, satu untuk mimpi-mimpi dan lainnya untuk ilmu sadar, yaitu pintu untuk ilmu realita (zahir). Saat manusia tertidur, pintu-pintu indera tertutup, dibukakanlah pintu bathin dan disingkapkan realitas alam ghaib dari alam malakut dan Lauh Mahfudz seperti cahaya yang terang benderang. Untuk menyingkapnya dibutuhkan semacam tafsir mimpi. Sedang ilmu yang dihasilkan dari realita (zahir) dikira oleh manusia akan memunculkan kesadaran diri, dan bahwa keadaan sadar lebih utama, meskipun sebenarnya ia tidak bisa melihat sesuatupun dari alam ghaib. Bagaimana pun sesuatu yang terlihat antara keadaan sadar dan tidur tetap lebih utama sebagai pengetahuan daripada apa yang terlihat melalui indera. PASAL MENGENAI CERMIN HATI Disamping itu, Andapun mesti tahu bahwa hati seperti cermin, Lauh Mahfudz pun demikian. Karena di dalamnya terdapat gambaran dari semua realitas (mawjudat). Jika Anda hadapkan cermin satu dengan lainnya, maka masing-masing gambar pada setiap cermin akan saling menghiasi yang lainnya. Demikian pula semua gambar (suwar) pada Lauh Mahfudz akan tampak dalam hati jika ia telah suci dari nafsu dunia. Jika masih disibukkan dengannya, maka alam malakut akan tetap tertutup. Jika pada saat tidur manusia tak terhubungkan dengan obyek indera, maka ia akan menyaksikan esensi (jawhar) alam malakut dan akan terlihat sebagian gambar yang ada pada Lauh Mahfudz. Jika manusia menutup pintu indera hanya sekedarnya, maka ia hanya memasuki dunia khayal. Karena itu, ia melihat sesuatu yang masih tertutupi pada bagian luarnya dan bukanlah hakikat murni yang tersingkapkan. Jika hati telah mati bersama si pemiliknya, maka pada saat itu tidak ada yang namanya khayal, dan tidak juga indera. Oleh karena itu, pada saat tersebut hati mampu melihat dengan tanpa keraguan ataupun khayalan. Dan ketika itu, diucapkan padanya: “Maka penglihatanmu pada hari itu sangat tajam.” (Q.S. Qaf [50]: 22). PASAL MENGENAI HATI, ILHAM &ALAM MALAKUT Ketahuilah! bahwa tak seorangpun dari anak Adam kecuali hatinya telah dimasuki sentuhan-sentuhan suci melalui jalan ilham, dan hal itu tidak masuk melalui indera, akan tetapi masuk dalam hati tanpa tahu dari mana asalnya, sebab hati termasuk alam malakut, dan indera tercipta untuk alam ini, yaitu alam al-mulk (alam kuasa). Karenanya ia menjadi penghalang jiwa dari menyaksikan alam malakut manakala tidak tersucikan dari aktifitas indera. PASAL MENGENAI DIBALIK KETERBUKAAN HATI Jangan Anda kira kelembutan ini hanya terbuka pada saat tidur dan mati saja, tapi ia pun terbuka saat sadar bagi mereka yang ikhlas berjihad, ikhlas melakukan riyadah (latihan) dan menyelamatkan diri dari kekuasaan nafsu, amarah, akhlak tercela dan perbuatan buruk. Jika ia duduk di tempat sepi dan mengosongkan dirinya dari dari aktifitas indera, kemudian membuka mata hati dan pendengarannya, menjalankan fungsi hatinya sebagai bagian dari alam malakut, terus menerus menyebut kalimat Allah, Allah, Allah, dengan hatinya dan dengan tidak dengan lidahnya sampai ia tak mendapatkan informasi dari dirinya dan alam sekitarnya sedikitpun, dan yang ia lihat hanyalah Allah[13], maka kekuatan itu akan terbuka, apa yang ia lihat disaat tidur, ia bisa lakukan pada saat sadar, yang tampak adalah ruh para malaikat dan para nabi, gambar-gambar bagus yang indah dan mulia, saat itu tersingkaplah kerajaan langit dan bumi. Ia bisa lihat semua yang tak bisa dijelaskan dan tak bisa digambarkan, sebagaimana sabda Rasul Saw: “Dibentangkan padaku bumi, seketika kulihat ujung barat dan timur.”[14] Allah Swt menjelaskan: “Dan demikianlah Kami perlihatkan pada Ibrahim tanda-tanda keagungan Kami (yang terdapat) di langit dan bumi.” (Q.S. al-An’am [6]: 75). Karena semua ilmu para nabi melalui jalan ini dan bukan melalui jalan indera, seperti ditegaskan Allah Swt: “Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan.” (Q.S. al-Muzammil [73]: 8). Artinya terputus dari segala sesuatu, penyucian diri dari segalanya dan terus memohon kesempurnaan pada-Nya, ini adalah jalan (tariq) kaum sufi zaman ini. Sedang cara pengajaran, adalah jalan (tariq) para ulama. Semua ini dirangkum dari jalan kenabian. Begitu juga ilmu para auliya’, sebab ilmu itu tertanam dalam hati mereka tanpa melalui perantara, yaitu dari Hadirat Ilahi sebagaimana firman-Nya: “Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya di antara ilmu-ilmu dari sisi Kami.” (Q.S. al-Kahfi [18]: 65). Jalan ini tidak akan dipahami tanpa melalui latihan, dan jika tak dihasilkan dengan rasa, maka ia pun tak bisa dihasilkan melalui pengajaran[15]. Yang seharusnya dilakukan adalah mempercayainya hingga kita bisa mendapatkan kebahagiaan mereka, dan ini adalah sebagian keajaiban hati. Siapa yang tak melihat, ia tidak akan mempercayainya, seperti firman-Nya: “Yang sebenarnya mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna, padahal belum datang kepada mereka penjelasannya.” (Q.S. Yunus [10]: 39), dan firman-Nya: “Dan ketika mereka tidak mendapat petunjuk dengannya (Alqur’an) maka mereka berkata: “Ini adalah dusta yang lama.” (Q.S. al-Ahqaf [46]: 11). PASAL MENGENAI SEMUA MANUSIA BERHAK ATAS RAHASIA KETUHANAN Jangan Anda mengira semua ini khusus untuk para nabi dan para wali saja, sebab esensi anak Adam dari asal penciptaannya memang untuk tujuan ini, seperti unsur besi agar dibuat cermin yang bisa digunakan untuk melihat gambaran alam, kecuali yang berkarat dan membutuhkan penyepuhan, atau besi kering yang membutuhkan pengecatan sebab sewaktu-waktu bisa patah. Demikian juga hati, jika nafsu dan kemaksiatan mendominasinya, maka ia tidak akan mencapai derajat ini. Hal ini sebagaimana yang disabdakan Rasul Saw: “Semua yang terlahir berada dalam fitrah (esensi) Islam.”,[16] Allah berfirman: “Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Anda Tuhan kami).” (Q.S. al-A’raf [7]: 172). Begitupun anak Adam, fitrahnya adalah mempercayai akan ketuhanan Allah, seperti dalam firman-Nya: “Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.” (Q.S. ar-Rum [30]: 30). Para nabi dan para wali adalah anak Adam, Allah berfirman: “Katakanlah: “Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu.” (Q.S. Fussilat [41]: 6). Setiap yang menanam pasti memetik, siapa saja yang berjalan, pasti sampai, siapa yang memohon, pasti akan mendapatkan. Permohonan tidak akan berhasil tanpa mujahadah – permintaan orang yang telah renta dan arif telah melalui jalan ini – jika dua hal ini berlaku pada seseorang, maka Allah telah berkehendak menganugerahinya kebahagiaan dengan hukum azali hingga ia mencapai derajat ini. PASAL MENGENAI NIKMAT DAN KEBAHAGIAAN MANUSIA TERLETAK PADA MA’RIFAH ALLAH Ketahuilah ! bahwa segala sesuatu memiliki rasa bahagia, nikmat dan kepuasan. Rasa nikmat akan diperoleh apabila ia melakukan semua yang diperintahkan oleh tabiatnya. Tabiat segala sesuatu adalah semua yang tercipta untuknya. Kenikmatan mata pada gambar-gambar indah, kenikmatan telinga pada bunyi-bunyi yang merdu, dan demikian semua anggota badan. Kenikmatan hati hanya dirasakan ketika mengetahui Allah (ma’rifah Allah), sebab ia diciptakan untuk melakukan hal itu. Semua yang tidak diketahui manusia, tatkala ia mengetahuinya maka ia akan berbahagia, seperti permainan catur, ketika mengetahuinya ia pun senang, jika ia dijauhkan dari permainan itu, maka ia takkan meninggalkannya dan tak akan sabar untuk kembali memainkannya. Begitu juga mereka yang telah sampai pada ma’rifah Allah[17], pun merasa senang dan tak sabar untuk menyaksikan-Nya, sebab kenikmatan hati adalah makrifat, setiap kali makrifat bertambah besar, maka nikmatpun bertambah besar pula. Karenanya, ketika manusia mengetahui sang menteri, maka ia akan senang, lebih-lebih jika tahu sang raja, maka kebahagiaannya tentu lebih besar lagi. Tak ada satu keberadaan pun di alam ini yang lebih mulia dari Allah Swt, sebab kemuliaan yang dimiliki, semua oleh sebab-Nya dan dari-Nya, semua keajaiban alam adalah karya-Nya, tak ada pengetahuan (ma’rifah) PASAL MENGENAI ALAM DAN SARIPATI MANUSIA Ketahuilah ! bahwa jika anak Adam disarikan dari alam, padanya terdapat segala gambaran alam yang masih bisa kita temukan akarnya, sebab tulang-belulang ini seperti pegunungan, dagingnya seperti debu, bulu-bulunya bagaikan tumbuhan, kepalanya bagaikan langit, inderanya seperti bintang, penjelasan mengenai hal ini sangatlah panjang. Demikian bagian dalamnya pun menyimpan gambaran alam, sebab fungsi pencernaan yang ada dalam lambung mirip dengan seorang ahli masak. Kekuatan yang ada pada limpa sama dengan pembuat roti, kekuatan pada usus bagaikan tukang cukur, kekuatan yang memutihkan susu dan memerahkan darah bagaikan tukang sepuh, penjelasan mengenai hal ini cukup panjang, yang penting adalah hendaknya kamu mengetahui berapa banyak alam yang tersimpan bersamamu, yang terus sibuk melayanimu, sedang Anda malah mengabaikannya, dan mereka takpernah beristirahat, Anda bahkan tak mengenalnya dan tak bersyukur pada-Nya yang telah menganugerahkan semua itu untukmu. PASAL MENGENAI PENGETAHUAN TENTANG KOMPOSISI JASAD BADAN DAN MANFAAT-MANFAAT ANGGOTA TUBUH Ilmu ini sangatlah agung, kebanyakan manusia mengabaikannya, demikian juga ilmu kedokteran. Setiap mereka yang ingin melihat dirinya dan keajaiban karya Allah Swt dalam dirinya, membutuhkan minimal tiga sifat dari sfat-sifat ketuhanan. Pertama, hendaknya mengethui bahwa yang menciptakan seseorang juga mampu membawanya pada kesempurnaan dan bukan pada sebaliknya, Ia adalah Allah Swt. Tak satu pun perbuatan di dunia yang lebih ajaib dari penciptaan manusia yang berasal dari air hina dan pembentukan fisik dengan bentuk yang sangat menakjubkan, sebagaimana firman-Nya: “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur.” (Q.S. al-Insan [76]: 2). Maka untuk mengembalikannya setelah mati adalah lebih mudah lagi, sebab pengulangan selamanya lebih mudah daripada permulaan. Kedua, pengetahuan tentang ilmu Allah Swt bahwa ia mencakup segala sesuatu. Sebab keajaiban dan keanehan ini tak mungkin ada kecuali dengan kesempurnaan ilmu. Ketiga, hendaknya Anda tahu bahwa keramahan-Nya, rahmat-Nya dan perlindungan-Nya mengenai segala sesuatu, tak terbatas di saat Anda melihat tumbuhan, hewan dan kandungan bumi, semua berada dalam keluasan kuasa-Nya, bentuk yang baik dan warna yang indah. PASAL MENGENAI URAIAN BENTUK MANUSIA MERUPAKAN KUNCI MENGETAHUI SIFAT-SIFAT KETUHANAN DAN TERMASUK ILMU MULIA Yaitu pengetahuan tentang keajaiban karya-karya Ilahi, pengetahuan tentang keagungan dan kekuasaan Allah Swt, yang merupakan ringkasan (sari) dari pengetahuan hati. Ilmu ini begitu mulia, sebab berbicara tentang karya Ilahi, sebab jiwa bak kuda, akal sebagai penumpangnya dan keduanya terhimpun dalam kalimat penunggang kuda (joki). Siapa yang tak mengenal dirinya dan mengaku mengenal lainnya, maka ia seperti seorang lelaki bangkrut yang tak memiliki makanan sedikitpun untuk dirinya dan mengaku menafkahi orang-orang miskin di kotanya. PASAL PENUTUP Jika Anda mengetahui kemuliaan, kehormatan, kesempurnaan, keindahan dan keagungan setelah Anda menyadari bahwa esensi hati adalah esensi yang paling mulia, yang semua itu telah dianugerahkan kepadamu dan kelak akan ditarik kembali, dan Anda justru tidak memintanya, malah mengabaikannya dan menghilangkannya, maka Anda akan sangat menyesal pada hari kiamat. Berjuanglah untuk mendapatkannya, tinggalkanlah segala kesibukan duniawi! Dan segala kemuliaan yang tidak tampak di dunia, maka di akhirat kelak akan menjadi kebahagiaan, keabadian tanpa kefanaan, kekuasaan tanpa kelemahan, pengetahuan tanpa kebodohan, keindahan sekaligus keagungan. Sedang hari ini, tak seorang pun yang lebih lemah darinya, sebab ia termiskin dan kekurangan, akan tetapi kemuliaan akan ia alami esok jika ia tancapkan pengetahuan tentang kebahagiaan ini dalam inti hatinya, hingga ia bisa menyelamatkan dirinya dari perumpamaan binatang dan bisa mencapai derajat malaikat. Jika ia kembali pada nafsu dunia, maka ia lebih memilih menjadi binatang pada hari kiamat, karena sebenarnya ia kembali ke asalnya yaitu tanah. Dan ia pun akan abadi dalam siksa. Kami berlindung kepada Allah Swt dari semua itu, kami meminta pertolongan-Nya, sebab Ia sebaik-baik Pemelihara dan Penolong, dan rasa syukur ini untuk Alah Swt, Tuhan semesta alam. Semoga keselamatan senantiasa dianugerahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw dan keluarga berikut para sahabatnya. The End [1] Perjuangan membersihkan hati dengan beragam ibadat. [2] Penyaksian pada cahaya keTuhanan. [3]Menghilangkan kotoran hati an mensucikannya diisi dengan keutamaan. Menurut Imam Jurjani ada juga kimia awam;menggantikan kenikmatan dunia dengan kenikmatan akhirat dan kimia orang khusus;memurnikan hati dari alam beralih ke Pencipta alam [4] Sebab Nabi saw lah yang menerima wahyu dan menerangi jalan. [5] Hati ditempa dengan Mujahadah ibadah agar suci, seperti besi berkarat ditempa dalam bara api agar murni. [6] Imam Qohtoby berkata ruh tidak masuk dalam katagori objek KUN, artinya bahwa ruh adalah kehidupan itu sendiri .Hidup dan kehidupan adalah sifat Yang maha hidup. Ruh yang berada dalam jasad bukanlah makhluk sebagaimana jasad. ( Lihat; aTaaruf limadzhab ahli tasawwuf; alKalabadzi, hal 68, Darul kutub ilmiah, bairut) [7] Berkata Imam Junaidy alBagdadi Ruh adalah sesuatu yang dibiasi oleh ilmu Allah dan tak seorangpun yang memahaminya dari makhlukNya. Dan tak diperkenankan mengibaratkannya dengan apapun. [8] Orang kuno yang pertama mendefinisikan tugas Jiwa adalah Plato bahwa jiwa memiliki tiga kekuatan;kekuatan syahwat, kekuatan amarah, kekuatan Akal. Dimanasyahwat dan amarah adalah pembantu bagi kekuatan akal. Plato mengibaratkan Manusia dengan kekuatan dan perangkatnya adalah sebuah kota yang mesti ditata, dimana penduduknya dibagi dalam tiga kasta: kasta buruh para pekerja, kasta peperangan dan kasta hakim, dimana kasta buruh sebanding dengan kekuatan syahwat, dan kasta peperangan sebanding dengan kekuatan amarah dan kasta hakim sebanding dengan kekuatan akal. Demikian juga berpendapat Cendikiawan Alfarabi dalam kitabnya" Aro' ahlil madinah alfadilah" [9] Ketercelaan syetan dan keterpujian malaikat, sebab syetan hanya memilki sifat tercela saja sedang malaikat hanya memilki sifat keterpujian. [10] Riwayat muslim, kitab sifat kaum munafiq hadis no 70, Imam Ahmad; Musnad;juz 6 hal 115. dari Aisyah. [11] Riwayat: aTurmudzi;albar,asilah;bab 55, Adda romy; arroqoiq,bab 73, Imam Ahmad;Musnad; juz 5 hal 153, Hadis dari Mu'az bin jabal. [12] Kekuatan akal [13] Imam Jurjani berkata dalam Ta'rifat hal 163: lenyapnya hati dari mengetahui hal ihwal makhluk bahkan dari keadaan dirinya, ia liputi oleh Sulthon hakikat, ia hadir dalam AlHaq, gaib dari dirinya dan dari makhluk. Sebanding dengan ini adalahl kisah dalam al-Qur'an tentang Nabi yusuf, dimana para perempuan ketika menyaksikan ketampanan Nabi Yusuf merekapun memotong tangan sendiri, bagaimana keadaan jika seseorang melihat keindahan Dzat sang pemilik keindahan?. Fana menurut ahli tasauf adalah tenggelam dalam keagungan dan penyaksian alHaq. [14] Riwayat: Muslim;Fitan;no 19, Abu Dawud; Fitan, bab 1,Atturmudzi;Fitan;bab 14, Ibnu Majah;Fitan;bab9, Imam Ahmad;Musnad; Juz 5,hal 278. Hadis dari Syadad bib Aus dari Nabi Saw. [15] Ini sebagaimana terjadi pada zaman alGhazali dimana para Murid penggemar tasauf dibebani beragam aturan oleh para Syeh Tasauf yang akan menunjukan jalan istiqomah. Adapun Tehnik tasauf alGhazali Ia mengambil langsung dari petunjuk kenabian tanpa perantara para Syeh tasauf, dan jenis tasauf ini doperuntukkan bagi penggemar berat seperti algazali sendiri. [16] Riwayat: Ahmad,Malik, Abu Dawud,atTurmudzi, adDaromy. [17] Sepakat para ahli Tasauf bahwa ma'rifat tidak akan sempurna dengan akal. Dalil mereka; bagi Allah adalah Allah semata. Menurut mereka jalan akal adalah jalan orang yang berakal adalam kebutuhanya pada dalil, kerena akal adalah baru dan yang baru hanya kan menunjukan pada yang baru juga. Seorang pria bertanya pada Imam Annury: apa dalilnya Allah? Ia Jawab: Allah, Maka dimana fungsi akal? Ia jawab:Akal lemah, yang lemah hanya akan menunjukan pada yang lemah juga. Berkata Ibnu atTo': akal adalah alat ibadah bukan bukan untuk memulyakan keTuhanan.

DELAPAN SIFAT KAUM SUFI

Dalam ajaran Sufi, delapan sifat harus dilatih. Kaum Sufi memiliki: Kemurahan hati seperti Ibrahim a.s.; Penerimaan yang tak bersisa sedikit pun dari Ismail a.s.; Kesabaran, sebagaimana dimiliki Ya'kub a.s.; Kemampuan berkomunikasi dengan simbolisme, seperti halnya Zakaria a.s.; Pemisahan dari para pendukungnya sendiri, sebagaimana halnya Yahya a.s.; Jubah wool seperti mantel gembala Musa a.s.; Pengembaraan, seperti perjalanan Isa a.s.; Kerendah-hatian, seperti jiwa dari kerendahan hati Muhammad saw.

HATI YANG BERSINAR DENGAN NUR ILAHI

Bismillahi minal Awwali wal Akhiri ... Hati manusia diibaratkan bagaikan cermin yang mampu memantulkan cahaya yang jatuh diatasnya. Cermin yang dihadapkan pada sumber cahaya seperti matahari akan memantulkan kembali cahaya matahari tersebut, hingga ia akan bersinar terang bagaikan matahari pula. Namun jika cermin itu dipenuhi debu, kotoran dan berbaga i noda hitam yang tidak pernah dibersihkan, cermin itu akan menjadi gelap pekat hingga tidak mampu memantulkan cahaya matahari yang jatuh diatasnya. Demikian pula jika cermin itu dipalingkan menyamping atau membelakangi matahari, maka cermin tersebut juga tidak akan mampu memantulkan sinar matahari yang jatuh diatasnya. Demikian pula halnya dengan hati manusia, setiap saat Allah menyinari hati manusia dengan Nur (Cahaya) Nya. Ada hati yang mampu memantulkan cahaya Ilahi itu dan bersinar terang menerangi diri dan lingkungannya, namun banyak pula hati yang tidak mampu memantulkan Nur Ilahi yang datang padanya. Hati tersebut gelap pekat, membawa kegelapan bagi diri dan lingkungannya. Allah telah mengunci mati hati yang gelap pekat tersebut sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 7 : Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat. (Al Baqarah 7) Ada dua hal yang menyebabkan hati manusia gelap pekat tidak mampu memantulkan cahaya Ilahi yang menyinari hatinya. Pertama hati itu dipenuhi debu, kotoran dan noda hitam akibat dosa dan perbuatan maksiat yang dilakukannya, sehingga hati tersebut menjadi hitam legam dan tidak mampu memantulkan cahaya yang datang padanya. Kedua, hati tersebut tidak mendapat cahaya dari Ilahi karena hati tersebut berpaling tidak menghadap pada sumber cahaya Ilahi yang datang padanya. Hati tersebut mungkin menyerong, menyamping atau bahkan membelakangi sumber cahaya Ilahi yang mendatanginya, sehingga cahaya Ilahi tidak mengenai permukaan hati tersebut. Walaupun hati tersebut bersih dari perbuatan dosa dan maksiat, namun ia tetap gelap tidak mampu memberi cahaya bagi diri dan lingkungannya karena memang tidak ada cahaya yang bisa dipantulkan kembali oleh hati tersebut. Allah sumber cahaya yang menerangi ... Allah adalah sumber cahaya yang menerangi alam semesta, menerangi langit dan bumi, menerangi kehidupan manusia, menerangi hati yang dalam kegelapan. Allah menjelaskan hal tersebut dalam surat An Nur ayat 35 : Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (An Nur 35) Orang yang selalu menghadapkan hati dan fikirannya kepada Allah yang maha Tinggi dan terus menerus berusaha membersihkan hatinya dari berbagai kotoran yang datang setiap saat, niscaya hatinya akan bersinar cemerlang dengan cahaya Ilahi. Hatinya memantulkan serta memancarkan Nur (cahaya) Ilahi yang diterimanya menerangi kehidupan serta lingkungan tempat dia berada. Namun orang yang memalingkan hati dan fikirannya dari menghadap Allah, dan membiarkan berbagai kotoran bertumpuk menutupi hatinya, tidak akan pernah mendapat cahaya Ilahi. Hatinya gelap pekat demikian pula hidupnya berada dalam kegelapan dan ketidak pastian, ia tidak mampu menerangi dirinya sendiri apalagi menerangi lingkungan hidupnya. Allah mengingatkan dalam Al-Qur’an agar kita selalu menghadapkan hati dan fikiran kepada Allah sehingga hati dan fikiran kita selalu mendapat cahaya dari-Nya yang menerangi dan menuntun kita dalam menempuh perjalanan hidup didunia maupun akhirat. Perhatikan firman Allah dalam surat Ar Rum 30 dan Yunus 105 : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,( Ar- Rum 30) dan (aku telah diperintah): “Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan ikhlas dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik. (Yunus 105) Orang yang memalingkan wajahnya dari Allah dan mengambil tuhan yang lain sebagai sembahannya (Musyrik, Kafir ) tidak akan mendapat bimbingan dan petunjuk dari Allah, mereka hidup dalam kegelapan, tidak mempunyai pegangan hidup yang jelas. Disamping menghadapkan wajah, hati dan fikiran pada Allah kita juga diperintahkan untuk membersihkan hati dan fikiran dari berbagai kotoran dan perbuatan dosa. Hati yang selalu bersih dari debu, kotoran dan dosa menjadi jernih dan bening, sehingga mampu memantulkan Nur Ilahi yang diterimanya, untuk menerangi jalan hidup diri dan lingkungannya. Usaha menghadapkan hati dan fikiran kepada Allah swt ... Hati yang berpaling atau membelakang dari menghadap Allah tidak akan mendapat cahaya atau Nur Ilahi. Syetan dan bala tentaranya selalu berusaha agar manusia berpaling dari Allah, Syetan berusaha agar manusia memalingkan wajah, hati dan fikirannya kepada selain Allah. Syetan memperlihatkan indah dan benar semua perbuatan mereka yang sesat, mereka menyembah selain Allah, seperti tuhan Yesus, patung Budha, berhala, matahari, Roh leluhur, para Dewa, tempat keramat, benda pusaka dan lain sebagainya. Tujuan hidupnya hanya untuk memenuhi keinginan syahwat dan nafsu duniawi. Hadapkan hati dan fikiran semata mata hanya pada Allah, jangan menyembah tuhan atau kekuatan yang lain dari Allah. Hindari menyimpan benda keramat, azimat, benda pusaka dan jauhi segala aktifitas pemujaan selain kepada Allah. Ingat dan selalu sebut nama Allah didalam hati dan fikiran ketika berdiri, duduk dan berbaring. Perbanyak mengerjakan sholat sunah, wirid dzikrullah, membaca Qur’an secara rutin. Jangan kagum dan takjub kepada kekayaan duniawi atau keistimewaan yang diberikan Allah kepada orang yang berpaling dari Allah. Semua itu hanyalah ujian dan fitnah dari Allah, mereka menyangka telah mendapat hidayah dan petunjuk, mereka merasa berada pada jalan yang benar. Syetan telah menipu mereka sehingga memandang baik semua kesesatan dan kekeliruan yang mereka lakukan. Allah telah mengingatkan ini dalam surat An Naml ayat 4 dan surat Fushilat ayat 25 : Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada negeri akhirat, Kami jadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka, maka mereka bergelimang (dalam kesesatan). (An Naml 4) Dan Kami tetapkan bagi mereka teman-teman yang menjadikan mereka memandang bagus apa yang ada di hadapan dan di belakang mereka dan tetaplah atas mereka keputusan azab pada umat-umat yang terdahulu sebelum mereka dari jin dan manusia; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang merugi.(Fushilat 25) Dengan memperbanyak Dzikrullah, sholat sunah, membaca Qur’an syetan tidak mempunyai kesempatan untuk masuk kedalam hati dan fikiran kita, sehingga tidak mampu memalingkan hati dan fikiran kita dari mengingat Allah. Usaha membersihkan hati dari kotoran dan dosa ,,,, Kotoran dosa, dan berbagai kemaksiatan yang kita lakukan dapat menutup hati hingga tidak mampu memantulkan Nur Ilahi yang datang menyinari hati. Bersihkan hati dari berbagai kotoran dan dosa tersebut dengan memperbanyak istighfar dan menahan diri dari melakukan perbuatan maksiat dan dosa. Ucapkan istigfar dengan tulus dan sungguh-sunguh, satukan lisan, hati dan fikiran dalam kalimat istighfar yang diucapkan, mohon ampun dengan sungguh-sungguh hingga meneteskan air mata. Yang diterima oleh Allah bukan banyaknya kalimat istighfar yang diucapkan, tapi ketulusan dan kesungguhan hati. Walaupun membaca kalimat istigfar sampai ribuan kali (1000 atau 5000 kali) jika tidak diikuti dengan keikhlasan dan kesungguhan hati tidak akan bermanfaat, apalagi jika kalimat istighfar diucapkan sambil fikiran melantur kemana mana. Hindari diri dari melakukan perbuatan dosa kecil, apalagi dosa besar. Jauhi tempat tempat yang dapat membangkitkan syahwat, jauhi aktifitas dan pergaulan yang cenderung berhura-hura, pesta pora, perjudian, zina, mabuk mabukan dan lain sebagainya. Perbanyak bergaul dengan orang saleh, dekati masjid dan majelis taklim. Insya Allah hati menjadi jernih dan bening. Nur Ilahi yang menerangi orang Mukmin ... Orang yang hatinya bersinar dengan Nur Ilahi , selalu mendapat bimbingan dan petunjuk Allah dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan. Rasulullah pernah bersabda :” Takutlah kepada firasat orang mukmin, karena orang mukmin itu melihat dengan Nur Allah”. Bagi orang Mukmin tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan, ia selalu mendapat jalan keluar dari berbagai masalah yang dihadapinya serta mendapat rezeki dari tempat yang tidak pernah disangka sangka, sebagaimana dijelaskan Allah dalam surat Thalaq ayat 2-3 2.….. Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. 3- Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (At Thalaq 2-3) Orang Mukmin yang hatinya bersinar dengan Nur Ilahi selalu mendapat kemudahan dalam hidupnya, sebagaimana disebutkan Allah dalam surat Al Laili ayat 5-7 Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. (Al laili 5-7) Rasulullah telah bersabda : ” Apabila Allah menghendaki kebajikan kepada seseorang, maka Allah akan menjadikan untuknya penasehat dari hatinya (sendiri)” Sabda beliau lagi : “Barang siapa yang hatinya menjadi penasihat baginya , maka Allah akan menjadi pelindung atasnya” Rasulullah juga mengatakan :” Hati orang mukmin itu bersih, didalamnya ada lampu yang bersinar, dan hati si kafir itu hitam dan terbalik ” Dipadang Mahsyar kelak orang Mukmin akan berjalan dengan cahaya terang benderang disekelilingnya sebagaimana dijelaskan Allah dalam surat At Tahrim ayat 8 : Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengan dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu“. (At Tahrim 8) Demikianlah orang Ber-Iman selalu diiringi dan mendapatkan cahaya kehidupan dari Nur Ilahi yang memancar dari dalam hati mereka, hidup aman, nyaman sepanjang masa. Orang yang memalingkan wajahnya dari Allah ... Didunia ini banyak kita temukan orang yang memiliki ahlak terpuji, memiliki hubungan antar manusia yang sangat baik. Mereka sangat peduli dengan kehidupan sesama manusia, suka menolong berjiwa sosial disenangi dimanapun mereka berada karena ahlaknya yang baik. Namun disisi lain mereka tidak kenal dengan Allah, mereka menyembah tuhan yang lain dari Allah, ada yang menyembah Yesus kristus, Budha, berhala, para dewa, Matahari, Bulan, benda dan tempat keramat, Arwah leluhur dan lain sebagainya. Orang ini diibaratkan seperti cermin yang bersih, namun dia tidak memancarkan cahaya karena posisinya tidak menghadap pada sumber Cahaya, melainkan menyerong, menyamping atau membelakangi sumber cahaya. Demikian pula hati orang yang bersih dari kotoran dan dosa namun jika tidak dihadapkan pada Allah, tidak akan memancarkan Nur Ilahi. Mereka hanya tampak indah pada dhohirnya, namun hati mereka kering, gersang dan gelap. Dari segi kehidupan dunia mereka sangat menarik, namun dari segi Rohani mereka hidup dalam kegelapan. Allah mengingatkan dalam surat Thaha 131 agar kita tidak takjub dan kagum kepada orang yang seperti ini, mereka hanya tampak indah dan menarik dari segi dhohirnya saja. Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal. (Thaha 131) Berpegang teguhlah pada tali Allah, hadapkan hati dan fikiran hanya pada Allah Tuhan semesta alam. Tanamkan dalam hati tidak ada Tuhan selain Allah, Dialah tujuan utama dari setiap orang yang ber-iman. Ingat pernyataan Nabi Ibrahim yang diabadikan dalam surat Al An Aam ayat 79 yang juga selalu kita ucapkan dalam do’a iftitah setiap sholat Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (Al An Aam 79) *Ainun Jariyah* silahkan di copas dan bisa di shere ke teman2 anda